Berat, memang berat untuk meninggalkan semua. Mereka yang kita sayangi, mereka yang selalu ada. Saya yakin dengan jalan yang saya ambil. Hati ini berkata inilah yang terbaik.
Bayangkan ketika seseorang merasa nyaman dekat anda dan anda sendiri merasakan hal yang sama. Tapi di tengah jalan hati anda berkata 'ayo lari, terus lari sampai kamu tau'. Kalau saja mereka tahu selama ini hati begitu menderita. Sakit, lebih sakit dari yang mereka rasakan.
Sangat kejam ketika saya melakukan itu kepada mereka semua. Seharusnya saya bisa ngelawan, tapi kenyataannya enggak bisa. Diam kayak orang goblok!!!
Sendiri? Itu kata yang tepat buat saya. Berjuang untuk mencari jawaban yang saya cari sendirian.
Saya harus bisa dan saya gak bisa nyakitin orang-orang yang saya sayangi.
Tuhan bantu saya tuk dapatkan jawaban itu, kasih petunjuk, pertanda yang bisa saya mengerti.
Tidak kah Engkau tahu sebegitunya menderita hati saya ?!!!!!
memancarkan radar neptunus untuk menyebarkan virusnya dee_lestari, yang bakal membuat anda semua takjub dan terinspirasi oleh karyanya.
Rabu, 05 Agustus 2015
Senin, 18 Mei 2015
Benci dan benci
Aku Benci Jatuh Cinta..!!
Jika kamu adalah hujan yang hanya lewat sekejap lalu lenyap,
Jangan janjikan aku pelangi untuk melukis langitku,
Meski rinaimu menyejukkan,
Meski rindumu mengharukan,
Namun hujamanmu serupa rintik-rintiknya yang menerpa menampar tepat di wajahku,
Aku benci jatuh cinta........
Hanya karna sebuah rasa yang di namakan "takut kehilangan"
Hanya karna ada kekhawatiran bahwa suatu hari kau akan berhenti melakukan hal yang sama seperti yang Kamu lakukan disaat membuatku jatuh cinta.
Lalu, bagaimana aku bisa mengelak jika semua hal yang kau lakukan adalah sebuah upaya untuk mendekatkan kita?
Bagaimana aku bisa menghindar jika tak sedikitpun hariku terlewatkan tanpa melihat namamu menari indah dalam sebuah pesan di ponselku?
Bagaimana bisa aku menghempasmu, sementara yang bertiup di sekelilingku adalah angin yang membawamu untuk menuju ke hatimu?
Bagaimana ini, tolong kamu yang sudah membuatku jatuh cinta, katakan aku harus bagaimana..?
Aku benci jatuh cinta,
sekali lagi aku benci jatuh cinta!
jika perasaan ini hanya akan menjatuhkanku ke dalam luka yang lebih dalam nantinya....
Jangan janjikan aku pelangi untuk melukis langitku,
Meski rinaimu menyejukkan,
Meski rindumu mengharukan,
Namun hujamanmu serupa rintik-rintiknya yang menerpa menampar tepat di wajahku,
Aku benci jatuh cinta........
Hanya karna sebuah rasa yang di namakan "takut kehilangan"
Hanya karna ada kekhawatiran bahwa suatu hari kau akan berhenti melakukan hal yang sama seperti yang Kamu lakukan disaat membuatku jatuh cinta.
Lalu, bagaimana aku bisa mengelak jika semua hal yang kau lakukan adalah sebuah upaya untuk mendekatkan kita?
Bagaimana aku bisa menghindar jika tak sedikitpun hariku terlewatkan tanpa melihat namamu menari indah dalam sebuah pesan di ponselku?
Bagaimana bisa aku menghempasmu, sementara yang bertiup di sekelilingku adalah angin yang membawamu untuk menuju ke hatimu?
Bagaimana ini, tolong kamu yang sudah membuatku jatuh cinta, katakan aku harus bagaimana..?
Aku benci jatuh cinta,
sekali lagi aku benci jatuh cinta!
jika perasaan ini hanya akan menjatuhkanku ke dalam luka yang lebih dalam nantinya....
Kepada kamu, Dengan penuh kebencian
Aku benci jatuh cinta. Aku benci merasa senang bertemu lagi dengan kamu, tersenyum malu-malu, dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak. Aku benci deg-degan menunggu kamu online. Dan di saat kamu muncul, aku akan tiduran tengkurap, bantal di bawah dagu, lalu berpikir, tersenyum, dan berusaha mencari kalimat-kalimat lucu agar kamu, di seberang sana, bisa tertawa. Karena, kata orang, cara mudah membuat orang suka denganmu adalah dengan membuatnya tertawa. Mudah-mudahan itu benar.
Aku benci terkejut melihat SMS kamu nongol di inbox-ku dan aku benci kenapa aku harus memakan waktu begitu lama untuk membalasnya, menghapusnya, memikirkan kata demi kata. Aku benci ketika jatuh cinta, semua detail yang aku ucapkan, katakan, kirimkan, tuliskan ke kamu menjadi penting, seolah-olah harus tanpa cacat, atau aku bisa jadi kehilangan kamu. Aku benci harus berada dalam posisi seperti itu. Tapi, aku tidak bisa menawar, ya?
Aku benci harus menerjemahkan isyarat-isyarat kamu itu. Apakah pertanyaan kamu itu sekadar pancingan atau retorika atau pertanyaan biasa yang aku salah artikan dengan penuh percaya diri? Apakah kepalamu yang kamu senderkan di bahuku kemarin hanya gesture biasa, atau ada maksud lain, atau aku yang-sekali lagi-salah mengartikan dengan penuh percaya diri?
Aku benci harus memikirkan kamu sebelum tidur dan merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, menjalar ke sekujur tubuh, dan aku merasa pasrah, gelisah. Aku benci untuk berpikir aku bisa begini terus semalaman, tanpa harus tidur. Cukup begini saja.
Aku benci ketika kamu menempelkan kepalamu ke sisi kepalaku, saat kamu mencoba untuk melihat sesuatu di handycam yang sedang aku pegang. Oh, aku benci kenapa ketika kepala kita bersentuhan, aku tidak bernapas, aku merasa canggung, aku ingin berlari jauh. Aku benci aku harus sadar atas semua kecanggungan itu..., tapi tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku benci ketika logika aku bersuara dan mengingatkan, "Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kalian berdua tidak punya anything in common," harus dimentahkan oleh hati yang berkata, "Jangan hiraukan logikamu."
Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. Kesalahan yang secara desperate aku cari dengan paksa karena aku benci untuk tahu bahwa kamu bisa saja sempurna, kamu bisa saja tanpa cela, dan aku, bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu.
Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. Demi Tuhan, aku benci jatuh cinta kepada kamu. Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini; di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang bergumul di dalam dan meletup pelan-pelan...
aku takut sendirian.
---
#terimakasihbangRAditya
Minggu, 17 Mei 2015
terbelenggu
Nus, semuanya benar kata keenan. Pikiran itu gak bisa mengerti hati!
Ajari saya menjadi naif senaif mungkin. saya berusaha menutupi apa yang di rasa, membelokkan semua yang di katakan oleh hati. hati bilang saya cinta dia dan harus di perjuangkan, tapi pikiran saya terus menyangkalnya. Apa yang bisa di perbuat sementara pikiran mengatakan kebenaran ' kamu tidak pantas untuk dia ' .
Hati saya terlalu pede untuk menyimpulkan perasaan ini.
Ikuti kata hati kamu karena apa yang di katakan hati selalu benar, tapi pikiran? Entahlah.....
Ajari saya menjadi naif senaif mungkin. saya berusaha menutupi apa yang di rasa, membelokkan semua yang di katakan oleh hati. hati bilang saya cinta dia dan harus di perjuangkan, tapi pikiran saya terus menyangkalnya. Apa yang bisa di perbuat sementara pikiran mengatakan kebenaran ' kamu tidak pantas untuk dia ' .
Hati saya terlalu pede untuk menyimpulkan perasaan ini.
Ikuti kata hati kamu karena apa yang di katakan hati selalu benar, tapi pikiran? Entahlah.....
Sabtu, 16 Mei 2015
harapan itu tetep ada
Tuhan, saya tidak tau apa yang saya rasain saat ini.
Apakah harapan yang selama saya cari ataukah ini harapan kosong?
Hati ini terasa bergejolak serasa hati sama pikiran lagi perang.
Hati sama pikiran memang gak bakal ketemu, karena pikiran gak bisa mengerti hati.
Hati gak bisa bohong tapi pikiran itu munafik, egois tingkat tinggi dan terus berusaha naif.
Dan pada akhirnya hati lah pemenangnya. Saya akui saya amat mencintai dia.
Ini bukan harapan kosong dan saya yakin dengan kata hati ini....
Apakah harapan yang selama saya cari ataukah ini harapan kosong?
Hati ini terasa bergejolak serasa hati sama pikiran lagi perang.
Hati sama pikiran memang gak bakal ketemu, karena pikiran gak bisa mengerti hati.
Hati gak bisa bohong tapi pikiran itu munafik, egois tingkat tinggi dan terus berusaha naif.
Dan pada akhirnya hati lah pemenangnya. Saya akui saya amat mencintai dia.
Ini bukan harapan kosong dan saya yakin dengan kata hati ini....
keegoisan bertahan dalam kesendirian
Sendiri ?
Menurut saya itu bukan masalah. Bukan juga nasib yang harus di ratapi, tapi sendiri itu pilihan...
Mungkin kita akan merasa kesepian. Memang benar!!
Akan ada dimana kita butuh seseorang untuk mengerti kita. Tapi orang selalu maksain sama orang yang tidak tepat, dan lahirlah rasa sakit itu.
Saat ini saya menemukan orang yang selama ini saya cari, buat saya nyaman dan tertawa lepas. Tapi saya tidak mau melepas hati ini untuk bebas. Saya tidak bisa meminta dia untuk mencitai saya.
Saya akui saya amat sayang dan menginginkan dia, tapi saya gak bisa. Saya terus coba untuk menahan perasaan ini. Karena saya tidak bisa membuat seseorang betah dan nyaman untuk waktu yang lama. Kekurangan dan keadaan saya yang membuat saya bertahan sendiri...
Saya cinta kamu sampai kapanpun. I just love you.....!!?
Menurut saya itu bukan masalah. Bukan juga nasib yang harus di ratapi, tapi sendiri itu pilihan...
Mungkin kita akan merasa kesepian. Memang benar!!
Akan ada dimana kita butuh seseorang untuk mengerti kita. Tapi orang selalu maksain sama orang yang tidak tepat, dan lahirlah rasa sakit itu.
Saat ini saya menemukan orang yang selama ini saya cari, buat saya nyaman dan tertawa lepas. Tapi saya tidak mau melepas hati ini untuk bebas. Saya tidak bisa meminta dia untuk mencitai saya.
Saya akui saya amat sayang dan menginginkan dia, tapi saya gak bisa. Saya terus coba untuk menahan perasaan ini. Karena saya tidak bisa membuat seseorang betah dan nyaman untuk waktu yang lama. Kekurangan dan keadaan saya yang membuat saya bertahan sendiri...
Saya cinta kamu sampai kapanpun. I just love you.....!!?
Minggu, 12 April 2015
Diterpa ‘Gelombang'
Menamatkan gelombang, seperti menghabiskan sepotong kebab beku. Gigit, gigit dan gigit lagi. Baru ketagihan ketika sudah tak ada potongan lagi yang tersisa. Dan pada momen itulah saya merasa kehilangan, ingin ‘nambah’ sepotong lagi. Tapi di samping fakta bahwa saya sudah kekenyangan, tentunya Dee pasti sangat tahu bagaimana memberikan jeda kepada para pembacanya untuk bertahan dengan 'kelaparan’. Atau paling tidak, 'bersabar’ dengan kelaparan. Bisa dua tahun seperti yang dilakukan setelah menyelesaikan Partikel. Atau malah lebih dari itu, bertahun-tahun sebelum Partikel 'lahir’.
Kok saya jadi kedengaran kayak Sarvara ya? Haha. Disebutkan Sarvara yang lihai adalah oang-orang yang paling sabar, bla..bla..bla, yang akan rela menunggu lama demi mendapatkan momen terbaik menyerang lawannya. (hlm 397)
Merupakan Supernova terlambat yang saya baca dari sekian serial Supernova sebelumnya. Acara akhir tahun yang indah, dan liburan awal tahun yang melenakan hingga saya melupakan buku ini. Walau saya sangat percaya Dee jarang sekali mengecewakan pembacanya, tapi bagian awal dari buku ini belum menarik saya sepenuhnya untuk duduk dan menikmatinya hingga habis.
Dimulai dengan sambungan cerita tentang pencarian Gio yang belum juga membuahkan hasil. Diva masih saja belum ditemukan. Bahkan sebelum membawa keputuasaanya untuk kembali ke Jakarta, Gio didatangi seseorang yang memberinya penjelasan tentang empat batu yang ia simpan. Batu-batu yang mempresentasikan orang-orang yang mesti Gio temukan.
Thomas Alfa Edison Sagala, adalah nama tokoh selanjutnya pada Supernova kelima. Dilahirkan dalam lingkup kesukuan Indonesia yang terkenal kental dengan nuansa adat. Sianjur Mula Mula sebagai awal cikal bakal suku Batak serta apa yang mereka percaya. Alfa pun tak lepas dari sebuah ritual yang malah membawanya pada keistimewaan yang tak biasa. Tidur bukan untuk menjaga kebugaran, tidur tidak sekedar mempertahankan keawetmudaan. Tapi tidur baginya, adalah kegiatan yang salah. Mimpi yang dihasilkan akan memberi pengalaman gelap yang menyakitkan. Tidur pun hal yang dihindarinya. Masihkah kita melupakan betapa nikmatnya tidur nyenyak di malam hari, tan Diterpa ‘Gelombang’
Menamatkan gelombang, seperti menghabiskan sepotong kebab beku. Gigit, gigit dan gigit lagi. Baru ketagihan ketika sudah tak ada potongan lagi yang tersisa. Dan pada momen itulah saya merasa kehilangan, ingin ‘nambah’ sepotong lagi. Tapi di samping fakta bahwa saya sudah kekenyangan, tentunya Dee pasti sangat tahu bagaimana memberikan jeda kepada para pembacanya untuk bertahan dengan 'kelaparan’. Atau paling tidak, 'bersabar’ dengan kelaparan. Bisa dua tahun seperti yang dilakukan setelah menyelesaikan Partikel. Atau malah lebih dari itu, bertahun-tahun sebelum Partikel 'lahir’.
Kok saya jadi kedengaran kayak Sarvara ya? Haha. Disebutkan Sarvara yang lihai adalah oang-orang yang paling sabar, bla..bla..bla, yang akan rela menunggu lama demi mendapatkan momen terbaik menyerang lawannya. (hlm 397)
Merupakan Supernova terlambat yang saya baca dari sekian serial Supernova sebelumnya. Acara akhir tahun yang indah, dan liburan awal tahun yang melenakan hingga saya melupakan buku ini. Walau saya sangat percaya Dee jarang sekali mengecewakan pembacanya, tapi bagian awal dari buku ini belum menarik saya sepenuhnya untuk duduk dan menikmatinya hingga habis.
Dimulai dengan sambungan cerita tentang pencarian Gio yang belum juga membuahkan hasil. Diva masih saja belum ditemukan. Bahkan sebelum membawa keputuasaanya untuk kembali ke Jakarta, Gio didatangi seseorang yang memberinya penjelasan tentang empat batu yang ia simpan. Batu-batu yang mempresentasikan orang-orang yang mesti Gio temukan.
Thomas Alfa Edison Sagala, adalah nama tokoh selanjutnya pada Supernova kelima. Dilahirkan dalam lingkup kesukuan Indonesia yang terkenal kental dengan nuansa adat. Sianjur Mula Mula sebagai awal cikal bakal suku Batak serta apa yang mereka percaya. Alfa pun tak lepas dari sebuah ritual yang malah membawanya pada keistimewaan yang tak biasa. Tidur bukan untuk menjaga kebugaran, tidur tidak sekedar mempertahankan keawetmudaan. Tapi tidur baginya, adalah kegiatan yang salah. Mimpi yang dihasilkan akan memberi pengalaman gelap yang menyakitkan. Tidur pun hal yang dihindarinya. Masihkah kita melupakan betapa nikmatnya tidur nyenyak di malam hari, tanpa kekhawatiran akan ada yang membunuh kita sebelum terbangun?
Itulah alasan, mengapa Alfa mengiyakan pekerjaan yang membuatnya selalu terjaga. Di luar ia ingin membayar hutang Bapaknya pada saat mengirimnya ke Amerika, atau mewujudkan impian Amanguda Hoboken untuk pulang ke Indonesia bertemu pohon Andaliman serta memakamkan abu Inangudanya.
Obsesi Bapak Alfa pada gelar dan kesuksesan, berimbas pada nama-nama tokoh yang ia sematkan pada nama anak-anaknya. Mungkin agak janggal di Indonesia, jika ada orang bernama Sir Issac Newton. Tapi menjadi biasa malah cenderung kocak, ketika nama penemu Gravitasi tersebut diplesetkan menjadi Uton, atau Albert Einstein menjadi Eten. Dee memang jenius sekaligus jenaka dalam pemberian nama tokoh.
Merantau yang menjadi ciri khas pada hampir setiap suku di Indonesia, tak lepas dari kisah hidup Alfa. Bekerja keras dan mencoba peruntungan di daerah lain, atau bahkan negara lain. Di singgung pula tentang kehidupan keras kawanan gangster Hoboken yang terus berperang satu sama lain memperebutkan kekuasaan. Juga tempat yang dijadikan persinggahan banyak keluarga imigran gelap, yang malah lebih mengkhawatirkan inspeksi petugas imigrasi ketimbang polisi narkotik.
Hingga pada Alfa sukses mendapatkan beasiswa, menyelesaikan kuliahnya dan bekerja, alur cerita masih terasa kuat. Namun ketika memasuki pencarian tentang “keistimewaan menakutkan” yang dimiliki dirinya, yang menjadi poin utama buku ini malah terasa lemah. Seperti kabut tipis yang menghalangi nikmatnya buku ini.
Baru pada saat keputusannya untuk pulang tiba-tiba ke Indonesia, alarm berdenyut yang memperingatkan tentang seseorang di pesawat. Entah itu Infiltran maupun Sarvara. Adalah penutup yang memberikan ketegangan seperti menonton film 'thriller’ di bioskop. Sayang hanya sebentar. Tak bisa ditemukan jawabannya, kecuali kita harus sabar menunggu buku selanjutnya.
Namun di antara semua kehidupan yang dijalani Alfa, terutama ketika di Amerika. Saya malah tertarik pada biji Andaliman, yang harus pertama kali diselamatkan oleh orang Batak ketika ada kebakaran maupun bencana alam di tanah perantauan. Sekalipun itu tinggal segenggam saja. Jujur, saya jadi penasaran dengan biji ini. Yang bentuknya menyerupai merica hitam, dan konon dapat menyulap semua makanan menjadi masakan Batak. (hlm 146)
Bisa segitunya orang Batak melindungi biji Andaliman dengan nyawanya? Wow!
Banyak ungkapan, maupun dialog dalam Bahasa Inggris pada buku ini. Namun Dee memlih untuk tidak menerjemahkannya. Mungkin menimbang bahwa bahasa tersebut sudah bukan bahasa baru lagi yang harus diterjemahkan satu persatu, juga menganggap tingkat intelektualitas pembacanya sudah mampu memahami secara tekstual. Catatan-catatan kaki yang juga sangat membantu memahami istilah medis, bahasa “slank” ala New Yorker, selipan bahasa daerah Batak maupun bahasa-bahasa negara lain. Seakan-akan menguatkan bahwa buku ini benar-benar dibuat serius, tidak setengah-setengah.
www.deelestari.com
Surat untuk Alfa Sagala
Judul : Supernova: Gelombang
Penulis : Dewi ‘dee’ Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun terbit : Oktober 2014
Jumlah halaman : 492 halaman
ISBN : 978-602-291-057-2
Selamat pagi. Selamat siang. Selamat malam, Alfa –di mana pun engkau berada.
Alfa, sejujurnya aku benci. Benci sekali. Aku benci untuk membuat sebuah review dari kisahmu. Maka, pada akhirnya pun kupustuskan untuk membuat surat pendek untukmu saja.
Alfa, bukannya (aku) sok objektif, namun rasanya sulit sekali untuk menghilangkan subjektivisme, bahkan hanya untuk menulis surat ini kepadamu. Membaca kisahmu membuat sisi kritisku mati. Aku tak bisa menghidupkan kesadaranku. Dan pada akhirnya, aku pun hanya mampu membiarkan diriku terseret ke dalam alur yang menenggelamkan.
Alfa, harus kuakui bahwa kisahmu sungguh digarap dengan lebih matang ketimbang dibanding kisah saudara-saudaramu yang lain –tapi tetap, sejauh ini aku masih tetap penasaran dengan kisah tentang saudaramu yang lain, si Partikel. Kau dibuat dari proses riset yang tentunya membutuhkan kesabaran yang tak semua orang punya. Satu yang selalu aku suka dari si penulis ceritamu adalah bahwa dalam setiap tulisannya, akhir cerita selalu saja tak tertebak. Dan lagi, jika biasanya yang ‘dijual’ pada kisah-kisah cerita yang lain adalah ending atau konflik atau alur. Maka, harus kutegaskan bahwa kisahmu menjual ketiga elemen tersebut.
Alurmu termainkan dengan cukup baik. Terlampau baik bahkan sesungguhnya. Porsinya sangat pas. Sejujurnya, Alfa, aku sempat mengkhawatirkan akan akhir ceritamu. Sebab, sampai dengan setengah halaman kubaca, aku masih belum menemukan kisah berlatarkan Tibet itu. Aku sempat takut pada akhirnya eksekusi pada puncak konflik akan terkesan terburu-buru. Namun, dugaanku salah besar, Alfa. Ah, aku merasa bodoh karena sempat meragukan kisahmu.
Alfa, selain itu aku juga sangat menyukai logo #Gelombang-mu. Entahlah, tak ada alasan pasti mengapa aku begitu menyukainya. Dan aku pun tak mau pusing-pusing mencari tahu alasannya. Namun, Alfa, ada sebuah pertanyaan yang kemudian mengganggu pikiranku. Mengapa logo #Gelombang-mu diberi warna orange dan bukannya biru? Iya, meski kutahu warna biru telah terpakai untuk saudaramu.
Alfa, rasanya tak perlulah aku menulis lebih panjang lagi dari ini. Sebab, hal tersebut memanglah tak diperlukan. Terakhir saja untuk mu, Alfa. Tolong sampaikan salam hangat dariku untuk penulismu, Ibu Suri. Sampaikan juga padanya, bahwa aku di sini sedang gundah menanti kehadiran saudaramu yang terakhir, Intelegensi Embun Pagi.
www.deelestari.com
Gelombang
Dimensi tak terbilang dan tak terjelang
Engkaulah ketunggalan sebelum meledaknya segala percabangan
Bersatu denganmu menjadikan aku mata semesta
Berpisah menjadikan aku tanya dan engkau jawabnya
Berdua kita berkejaran tanpa pernah lagi bersua
Mencecapmu lewat mimpi
Terjauh yang sanggup kujalani
Meski hanya satu malam dari ribuan malam
Sekejap bersamamu menjadi tujuan peraduanku
Sekali mengenalimu menjadi tujuan hidupku
Selapis kelopak mata membatasi aku dan engkau
Setiap napas mendekatkan sekaligus menjauhkan kita
Engkau membuatku putus asa dan mencinta
Pada saat yang sama
www.deelestari.com
Engkaulah ketunggalan sebelum meledaknya segala percabangan
Bersatu denganmu menjadikan aku mata semesta
Berpisah menjadikan aku tanya dan engkau jawabnya
Berdua kita berkejaran tanpa pernah lagi bersua
Mencecapmu lewat mimpi
Terjauh yang sanggup kujalani
Meski hanya satu malam dari ribuan malam
Sekejap bersamamu menjadi tujuan peraduanku
Sekali mengenalimu menjadi tujuan hidupku
Selapis kelopak mata membatasi aku dan engkau
Setiap napas mendekatkan sekaligus menjauhkan kita
Engkau membuatku putus asa dan mencinta
Pada saat yang sama
www.deelestari.com
Selasa, 31 Maret 2015
Supernova Ksatria dan Bintang Jatuh
"Ajarkan aku menjadi naif
senaif dirimu yang masih bisa tertawa
senaif kebahagiaan di alam kita berdua
karena di setiap detik..
dikala kenyataan mulai bersinggungan..
kurasakan sakit yang nyaris tak tertahankan
Atau..
Ajarkan aku menjadi penipu!
bila kau merasakan sakit itu didalam tawamu."
Tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah.... Ada. Terus bergerak, berekspansi, ber-evolusi. Sia-sialah orang yang berusaha menjadibatu di arus ini, yang menginginkan kepastian atau pun ramalan masa depan, karena sesungguhnya justru dalam ketidakpastian manusia dapat berjaya, menggunakan potensinya untuk berkreasi. (Keping 1 – Yang Ada Hanyalah ADA)
Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Mimpi merupakan bentuk lain dari kreativitas. Menjadi kreatif itu tidak mengenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi, tapi banyak juga pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi, atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaan robot. Bukan manusia – Rana (Keping 2 – Ksatria)
Tidakkah ada yang melihat? Betapa ketulusan bisa menjadi teramat konyol. Hasrat yang berlebih tanpa persiapan bisa berakibat fatal. Percaya membabi-buta pada pihak asing bisa jadi senjata makan tuan. Strategi. Kemandirian. Itu dia kuncinya – Supernova (Keping 2 – Ksatria)
Hidup memang aneh. Banyak penjelasan di dalam ketidakjelasannya. (Keping 2 – Ksatria)
Tuhan berbicara lewat banyak hal, banyak mulut, dan banyak peristiwa. (Keping 4 – Puteri)
Cinta tidak membebaskan. Konsep itu memang utopis. Cinta itu tirani. Ia membelenggu. Menggiringnya ke lorong panjang pengorbanan. (Keping 9 – Cinta Tidak Butuh Tali)
Manusia yang hidup tahu bahwa ketidak sabaran hanya akan membuatnya merencanakan masa depan secara tidak alami. Menjadikan detik-detik berharga tadi usang, lalu menghabiskan hidup mereka untuk menghiasi keusangan itu dengan paksa, menjadikannya seperti kain perca, Buruk, tak berguna, sekaligus sudah terlalu berat untuk ditanggalkan – Diva (Keping 12 – Un Sol Em Noite)
Manusia tidak diciptakan untuk terikat pada apa pun. Jangan pernah takut dengan kebebasan. Jangan pernah juga memanipulasi kebebasan. Buat semua detik baru, dan berarti – Diva (Keping 12 – Un Sol Em Noite)
Bisakah kamu bayangkan, sebesar apa hati yang menampung seluruh cinta di semesta ini? – Dhimas
Sebesar cinta itu sendiri – Ruben (Keping 14 – Sebesar Cinta Itu Sendiri)
Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan, Puteri. Darah adalah darah. Dan tangis adalah tangis. Tidak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu – Ferre (Keping 15 – Ia Sedang Kasmaran)
Manusia memang seolah didesain untuk menunaikan satu misi : mencari tahu asal usul mereka. Demi kembali merasakan keutuhan itu – yang niscaya akan membuat mereka berhenti merasa kecil dan teralienasi di tengah megahnya jagat raya – Supernova (Keping 18 – Cyber Avatar)
Berhentilah merasa hampa. Berhentilah minta tolong untuk dilengkapi. Berhentilah berteriak-teriak ke sesuatu di luar sana. Berhentilah bertingkah seperti ikan di dalam kolam yang malah mencari-cari air. Apa yang Anda butuhkan semuanya sudah tersedia – Supernova (Keping 18 – Cyber Avatar)
Tidak ada seorang pun mampu melengkapi apa yang sudah utuh. Tidak ada sesuatu pun dapat mengisi apa yang sudah penuh. Tidak ada satu pun yang dapat berpisah satu sama lain – Supernova (Keping 18 – Cyber Avatar)
Konflik baru berakhir ketika Anda berada di titik nol. Dengan demikian Anda akan melihat kubu-kubu sekitar Anda tanpa menjadi objek permainannya. Hidup yang serba keras ini dapat seketika menjadi taman bermain – Supernova (Keping 31 – Jaring Laba-laba)
(Degup jantung, embusan nafas. Harmoni tanpa not) Itulah rima dari puisi yang tak pernah habis : Hidup. Dan bila jantung berhenti? Puisi adalah roh bertabir kata. Roh itu, tak pernah mati. Tak pernah pergi? Ia segalanya. Harus pergi ke mana lagi? segalanya ada padamu. (Keping 32 – Individu Hanyalah ilusi)
www.deelestari.com
Sabtu, 21 Maret 2015
Surat Tak Pernah Sampai
Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya
kamu hanya ingin bercerita pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan
angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang
bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam,
dengan detik jam... tentang dia.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang
membunuhmu secara perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu
hingga dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya
untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap
kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran,
semua tulisannya dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah
pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan
bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila berterbangan masuk ke
matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya pasti
akan lebih mudah.
Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang,
menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi,
segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta.
Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca
ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan
ketabahan hati. Betapa sebalah darimu percaya bahwa setetes air matapun akan
terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu
samudera tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan
cakrawala... dan itulah tujuan kalian.
Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen
dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu
stagnan di satu titik saja, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik
bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
Satu detik yang segenap keberadaanya dipersembahkan untuk
bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada
detik berikutnya. Betapa kamu rela membantu untuk itu.
Tapi, hidup ini cari. Semesta ini bergerak. Realitas berubah.
Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa
saja yang memiliki diam, memaksa kita untuk mengkuti arus agungnya yang jujur
tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.
Kamu takut.
Kamu takut karena
ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu
untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah bagian
terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata ‘sejarah’ mulai menggantung
hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia,
tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika di
sentuh menjadi embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanm untuk sering
mensejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang
Kekasih impian. Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang berjalan,
kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas
masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu,
berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang tidak boleh
sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk pernajalan ini. Kamu pertaruhkan
segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran
tertinggimu.
Lama baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan
bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang,
menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa
keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang
tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan,
serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh di pelihara. Bahwa di dalam
sepak-terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme
agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming
besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu entah kapan dan kenapa.
Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan
jemari dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia
dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap
harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan Cuma maskot untuk disembah sujud.
Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin
berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.
Dan kamu tahu,
itulah yang tidak bisa dia berikan kini,
Hingga akhirnya...
Dimeja itu, kamu
dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak
adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip,
sehingga Cuma kamulah yang tersiksa?)
Jangan heran kalau
kamu menangis sejadi-jadinya. Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu,
pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa
sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hanya uap tubuh
yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa
berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga
yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah
digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena kehabisan daya.
Sampai pada halaman
kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami,
betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang
mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata,
peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis
bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebalikanya,
tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang
mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu
menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamupun tersadar,
itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surat itu
tiba di titiknya yang akhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak
mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa
paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi
mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala,
memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani
sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tanganmu pun sudah menyurut, maka kamu
akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin suatu saat,
apabila sekelimut dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak
ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi
dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika
sebuah keajaiban mampu menguak kekeruahn ini, jadilah ia semacam mercusuar,
kompas,, bintang selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk,
akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan
apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan
surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.....!
Jumat, 20 Maret 2015
Spasi
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling sayang menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak akan mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi, jangan lumpuhkanlah aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring.
www.deelestari.com
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling sayang menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak akan mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi, jangan lumpuhkanlah aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring.
www.deelestari.com
Kamis, 19 Maret 2015
Vegetus Libertas
Keengganan umum menjadi vegetarian antara lain enggan jadi repot dan terbatas. Di dunia mayoritas omnivora ini, seorang vegetarian yang bepergian harus dari jauh hari memesan menu khusus ke maskapai penerbangan. Saya harus memberitahu tante saya yang mengadakan hajatan, supaya ia tidak kecewa jika sambal goreng atinya tidak disentuh. Setiap ke luar kota, survei kecil yang selalu saya lakukan adalah mencari restoran vegetarian. Sebagai vegetarian pemula yang masih beradaptasi, saya sering merenung: apakah ini keterbatasan, atau tantangan? Keterbatasan adalah gagal menemukan makanan vegetarian, lalu dengan hati masygul makan nasi pakai sayur dan sambal tok, sesekali melirik iri piring teman-teman yang berlimpahkan lauk-pauk. Apalagi baru jadi vegetarian beberapa bulan, segala rasa daging masih kuat bercokol di memori. Saya tahu persis, bahkan lidah ini seperti masih bisa mengecap tanpa perlu mengunyah, rasa ayam bakar, sop buntut, gule kambing, babi kecap, udang goreng mentega.
Tantangan adalah menghadapi situasi dan piring yang sama dengan penuh kemenangan. Dan demikianlah upaya saya menyikapi hidup vegetaris. Menjadi vegetarian adalah tantangan dalam satuan hari. Besok adalah tantangan baru, dan seterusnya. Tantangan mengubah persepsi keterbatasan menjadi permainan seru yang dengan serius menantang saya untuk terus menggali etika bermanusia dalam konteks realitas hari ini. Tantangan saya artikan sebagai pembatasan, dan itu tidak sama dengan keterbatasan. Pembatasan adalah kesadaran aktif untuk mengurangi pilihan yang tak perlu. Sejak dulu, saya paling tidak tahan berada di belakang truk yang mengangkut hewan. Entah itu sapi, ayam, kambing, atau babi.
Cepat-cepat saya susul, atau terpaksa terus memalingkan muka. Namun tampang memelas mereka tidak seberapa dibanding kontradiksi yang menyerang saya: saya iba, tapi lewat industri makanan, saya masih membunuhi mereka. Hingga kini rasa iba itu tidak hilang. Namun kontradiksi itu lenyap sudah. Dan saya merasakan kebebasan. Sebulan belakangan ini saya juga menyadari sesuatu, daerah rambahan saya di supermarket menjadi lebih sempit. Saya akan berjalan melewati jajaran panjang aneka daging segar, mengabaikan rak-rak berisi sosis, kornet, dan hanya mampir di bagian sayur, buah, serta rak pendingin tempatnya tahu dan tempe.
Kadang saya menoleh ke belakang, melihat banyaknya pilihan yang saya lewati, dan lucunya, saya justru merasa lebih bebas. Berapa banyak pilihan yang sebenarnya sanggup kita tangani? Sering juga saya renungi itu. Ketika seseorang memiliki enam mobil, dua ratus potong baju, lima puluh sepatu, adakah itu membebaskan? Saya selalu merasa ada batas tegas antara butuh dan koleksi. Ketika batas kebutuhan dilampaui hingga memasuki tahap koleksi, maka angka berapapun tak akan pernah cukup. Ketika makanan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup, tapi ajang koleksi kenikmatan indrawi, seluruh hewan di Bumi tidak akan pernah cukup.
Refleks kita pasti menangkis 'apa salahnya?', 'kalau ada uangnya kenapa tidak?'. Percayalah, saya pun masih menyimpan refleks yang sama. Gen primordial kita sebagai ras yang pernah berjuang antara hidup dan mati demi tidak kelaparan akan selalu mendorong kita untuk sebanyak-banyaknya menumpuk lemak dan protein. Adalah tantangan untuk mengubah refleks primordial dengan sistem akal budi berbasiskan realitas baru, bahwa dunia hari ini sudah punya cukup teknologi untuk kita bisa bergizi tanpa membunuh hewan secara massal, dan dunia hari ini mengalami krisis karena banyak manusia sibuk menggemukkan hewan ternaknya dan lupa bahwa manusia lain kelaparan, bahwa dibutuhkan sepuluh kilo tumbuhan bergizi untuk menghasilkan satu kilo daging. Amati kehidupan kita sendiri: apakah pola konsumsi kita masih dalam koridor butuh, atau sudah koleksi? Setelah itu, barulah lihat kehidupan sekitar kita, dan simpulkan dengan akal sehat: apakah masih etis untuk menerapkan pola koleksi? Jika tidak, sesuatu pasti bisa kita upayakan untuk mengurangi berlebihnya pilihan, membiarkan mereka yang betulan terbatas untuk melangsungkan hidup dengan jumlah pilihan yang layak. Jumlah yang perlu kita bagi. Di sebuah food court dengan puluhan stand, saya memilih satu: stand nasi pecel dan gado-gado. Teman saya berkomentar: 'Kasihan kamu, makannya cuma bisa itu.' Padahal, meski pesan menu lain, ia juga sama-sama makan satu piring. Jika ada food haven yang menyediakan ribuan stand sekalipun, setiap pengunjung pada akhirnya memilih satu. Malamnya, ketika iseng buka-buka kamus Bahasa Latin (salah satu hobi saya memang mengoprek kamus), saya menemukan sebuah frase: Vegetus libertas. Artinya, hidup yang menguatkan budi.
Saya jadi teringat makan siang tadi. Di food court itu, tanpa disadari, saya telah bertemu kebebasan dalam pembatasan. Hidup yang berbudi ternyata dapat dihikmati melalui sepiring nasi pecel.
http://deelestari.com/id/
Sinkronisitas
Sebut saja inisial pacar saya DL. Buntut nomor ponsel saya 7929. Setelah tidak ada kontak selama berhari-hari, satu malam saya tercenung di tempat parkir. Mata saya tahu-tahu tertumbuk pada satu plat mobil: B 7929 DL. Saya langsung yakin, malam ini saya pasti dapat kabar darinya. Dan benar saja, tidak sampai sepuluh menit, ponsel saya berbunyi. Satu hari, saya membaca sebuah buku dalam perjalanan mobil. Buku yang sangat menggugah itu rupanya terserap begitu intens sehingga mungkin ada satu jendela sensitivitas saya yang terbuka.
Ketika saya membaca sebuah bab yang membahas perihal arti nama, mendadak saya terdorong untuk mendongak, hanya untuk mendapatkan sebuah truk pasir di depan saya yang bertuliskan besar-besar: 'Arti Sebuah Nama'. Saya pun termenung lagi. Apakah arti semua ini? Terlalu naif kalau saya sebut kebetulan. Rasa-rasanya semesta sedang bergerak bersama dengan pikiran. Memberi konfirmasi untuk sesuatu yang dianggapnya berguna. Sekalipun konfirmasinya diberikan melalui hal seremeh tulisan pada truk atau nomor plat mobil, tapi bisa jadi itu menjadi jalan menuju wawasan yang lebih dalam. Sinkronisitas dapat diartikan sebagai kebetulan-kebetulan yang bermakna.
Bahkan istilah 'kebetulan' pun tidak lagi sufisien, karena pada level tertentu tidak ada satu hal pun yang kebetulan atau insidental. Semua punya makna. Semua berinterelasi dalam satu maha rencana. Sinkronisitas adalah proses dialogis, sebuah pola komunikasi dari 'tali pusar' yang menghubungkan semua pikiran, perasaan, sains dan seni dalam rahim semesta, yang kemudian melahirkan semuanya ke dalam realitas ini. Itulah yang membedakan sinkronisitas dengan kebetulan belaka, yaitu makna inheren yang terkandung di balik segala peristiwa tadi. Sinkronisitas menunjukkan ada satu nuansa makna yang kaya, bahkan dalam hal paling insignifikan sekalipun andaikan kita mau lebih sensitif menelaahnya. Realitas yang kita geluti sehari-hari adalah realitas dualistis yang senantiasa melihat segalanya dalam dikotomi: terang-gelap, benar-salah, tinggi-rendah, dan seterusnya.
Boleh dibilang, begitulah cara kerja alamiah pikiran kita. Sehingga otomatis segalanya menjadi linear, cause and effect. Saya begini karena kamu begitu. Saya jadi begini karena kemarin saya berbuat begitu. Siapa yang menabur, dia akan menuai. Namun sinkronisitas memberikan alternatif pikir lain, bahwa dengan sudut pandang yang lebih tinggi, semesta tidak lagi berbicara dalam bahasa sebab-akibat. Semesta bukan garis lurus yang punya awal dan akhir. Melainkan sebuah lingkaran tak terputus yang terus berekspansi. Segalanya ternyata sinkronis. Atau bisa diartikan, semesta bergerak dalam satu gerakan tunggal. Namun sayangnya, paham reduksionis yang mendominasi dunia sains cenderung membawa sudut pandang dunia dari mulai level sosial ekonomi hingga budaya untuk mereduksi sinkronisitas menjadi fragmen-fragmen yang tak terperhatikan. Kausalitas, masih memiliki efek hipnotis kuat yang membawa kita untuk terus menerus berusaha menguasai kehidupan dengan cara memecah-belahnya menjadi bagian-bagian kecil yang bisa dianalisis dalam kontrol penuh.
Saya ingin mengambil satu
contoh, yakni permainan tenis. Dalam sudut pandang yang kausal,
permainan tersebut begitu sederhana, sekadar perjalanan sebuah bola yang
dipukul bolak-balik. Setiap pukulan adalah hasil kontraksi otot lengan
pemainnya. Info posisi inisial maupun kecepatan setiap pukulan
menjadikan lintasan bola itu terukur dan terhitung. Namun, ada daya lain
yang ikut memberi pengaruh yakni gravitasi. Dan gravitasi beroperasi
pada keseluruhan ruang si bola, bukan pada gerakan inisialnya saja.
Sementara menurut Einstein, gravitasi adalah gerakan ruang-waktu yang
melengkung, sehingga apabila didesak sampai batasnya, kausalitas yang
terjadi harus melibatkan lintasan bulan, planet dan bintang, bahkan
massa orang yang lalu lalang di lapangan tenis itu.
Dengan kata lain, seluruh elemen semesta punya peran dalam menentukan lintasan bola tenis tadi. Maka tidak berlebihan kalau Edward Lorenz berkata bahwa kepakan kupu-kupu di Hongkong dapat mengakibatkan badai besar di New York. Rantai sebab-akibat tersebut dapat dilihat juga sebagai network atau jaringan. Semakin lebar batasan satu masalah ditarik maka semakin nyata rengkuhannya yang meliputi seluruh dunia, tata surya, bahkan semesta. Segalanya mengakibatkan segalanya. Setiap dari kita pastinya pernah mengalami sinkronisitas, betapapun remeh kejadiannya, baik disadari atau tidak. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sinkronisitas biasanya baru terasa pada titik kritis kehidupan seseorang, yang bisa diinterpretasikan sebagai bibit perkembangan orang itu pada masa yang akan datang. Ada juga yang melihatnya sebagai konfirmasi bahwa kita berjalan di jalur yang 'tepat'.
Namun saya juga ingin menambahkan bahwa sinkronisitas adalah dialog yang terjadi antara diri kita dan Diri, dan satu bukti bahwa pada satu level kita semua adalah satu. Bibit pemecah-belah yang terjadi di segala aspek kehidupan adalah imbas dari cara pandang yang reduksioner, sehingga 'power' adalah sesuatu yang perlu diperebutkan dan bukan dibagi. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan bukannya tumbuh alami. Simbiosa antarmakhluk dilihat sebagai kompetisi antara yang lemah dan kuat. Kita menghakimi orang-orang dengan mengategorikannya sebagai 'winner' dan 'looser' . Dan cara pandang ini adalah warisan ratusan bahkan ribuan tahun.
Sinkronisitas adalah sudut pandang alternatif yang memungkinkan kita untuk melihat realitas yang sama sekali lain. Dan tentu saja, itu akan membawa perubahan perilaku dan sikap. Bukti dampak pandangan reduksionisme pada dunia rasanya tidak perlu kita perdebatkan: perang yang tak kunjung punah, separuh dunia yang masih kelaparan, dan derita yang dimulai dari level global sampai interaksi antara dua kekasih. Semua karena pemisahan, pengotak-kotakkan, yang melampaui batas fungsi yang sesungguhnya. Mungkin inilah saatnya kita mempertaruhkan kenyamanan sudut pandang lama kita dengan sesuatu yang baru. Merengkuh sinkronisitas dan terbang bersamanya.
http://deelestari.com/id/
Dengan kata lain, seluruh elemen semesta punya peran dalam menentukan lintasan bola tenis tadi. Maka tidak berlebihan kalau Edward Lorenz berkata bahwa kepakan kupu-kupu di Hongkong dapat mengakibatkan badai besar di New York. Rantai sebab-akibat tersebut dapat dilihat juga sebagai network atau jaringan. Semakin lebar batasan satu masalah ditarik maka semakin nyata rengkuhannya yang meliputi seluruh dunia, tata surya, bahkan semesta. Segalanya mengakibatkan segalanya. Setiap dari kita pastinya pernah mengalami sinkronisitas, betapapun remeh kejadiannya, baik disadari atau tidak. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sinkronisitas biasanya baru terasa pada titik kritis kehidupan seseorang, yang bisa diinterpretasikan sebagai bibit perkembangan orang itu pada masa yang akan datang. Ada juga yang melihatnya sebagai konfirmasi bahwa kita berjalan di jalur yang 'tepat'.
Namun saya juga ingin menambahkan bahwa sinkronisitas adalah dialog yang terjadi antara diri kita dan Diri, dan satu bukti bahwa pada satu level kita semua adalah satu. Bibit pemecah-belah yang terjadi di segala aspek kehidupan adalah imbas dari cara pandang yang reduksioner, sehingga 'power' adalah sesuatu yang perlu diperebutkan dan bukan dibagi. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan bukannya tumbuh alami. Simbiosa antarmakhluk dilihat sebagai kompetisi antara yang lemah dan kuat. Kita menghakimi orang-orang dengan mengategorikannya sebagai 'winner' dan 'looser' . Dan cara pandang ini adalah warisan ratusan bahkan ribuan tahun.
Sinkronisitas adalah sudut pandang alternatif yang memungkinkan kita untuk melihat realitas yang sama sekali lain. Dan tentu saja, itu akan membawa perubahan perilaku dan sikap. Bukti dampak pandangan reduksionisme pada dunia rasanya tidak perlu kita perdebatkan: perang yang tak kunjung punah, separuh dunia yang masih kelaparan, dan derita yang dimulai dari level global sampai interaksi antara dua kekasih. Semua karena pemisahan, pengotak-kotakkan, yang melampaui batas fungsi yang sesungguhnya. Mungkin inilah saatnya kita mempertaruhkan kenyamanan sudut pandang lama kita dengan sesuatu yang baru. Merengkuh sinkronisitas dan terbang bersamanya.
Satu Orang Satu Pohon
Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sanasini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu.
Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo sepekan.
Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut orang. Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan kota ini tidak dilakukan dengan paham yang sama.
Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan 650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek 'basah' dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari sekadar menjadi metropolitan baru? Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon.
Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita dengan menanam sendiri.
Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi. Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang.
Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.
Samsara
Nama penyu itu Endang. Saya beri nama demikian karena saya belum sempat tahu Endang itu jantan atau betina, dan nama "Endang" cukup fleksibel mewakili keduanya. Endang dengan 'e' taling untuk perempuan, dan Endang versi 'e' pepet untuk laki-laki. Pertemuan saya dengan Endang terjadi tanpa rencana. Saat saya ke Manado beberapa waktu lalu untuk talk show bersama seorang biksu perempuan, Ayya Santini, saya diberi tahu bahwa panitia ingin mengadakan fang shen (mudita citta, pelepasan makhluk hidup) sesudah makan siang, dan saya diajak ikut. Biasanya saya lebih memilih beristirahat, apalagi perjalanan ke Manado ini dimulai sejak subuh berhubung naik pesawat paling pagi. Tapi saya belum pernah ikut fang shen sebelumnya, dan saya memutuskan ikut demi pengalaman baru. Fang shen adalah salah satu puja bakti dalam tradisi agama Buddha, yakni melepaskan makhluk hidup kembali ke alam bebas. Mereka yang ingin melakukan fang shen dapat membeli ikan, atau burung, atau apa saja, yang barangkali sudah di penghujung maut karena akan dijagal, lalu melepaskan mereka kembali ke habitatnya. Fang shen dipercaya dapat membuahkan umur panjang, kebahagiaan, dan seterusnya.
Terlepas dari umur saya
bertambah atau tidak, saya merasa fang shen adalah tradisi yang luar
biasa. Burung yang memiliki angkasa tak berbatas sebagai rumahnya
mendadak disekap dalam kurungan, hanya karena kita ingin menjamin
kicauan merdunya terdengar oleh kuping setiap hari, tak peduli kicauan
itu ungkapan kebahagiaan atau frustrasi. Ikan yang memiliki aliran air
luas sebagai rumahnya mendadak harus mengitari kurungan kaca akuarium,
hanya karena kita ingin menikmati keindahan wujudnya.
Belum lagi ikan lele yang kemungkinan besar dihantam di kepala lalu berakhir di penggorengan. Melalui fang shen, kita mengembangkan kasih sayang dan rasa hormat bagi semua makhluk. Keluar dari kerangka pikir manusia pemangsa, lalu dengan sadar mengembalikan hak hidup makhluk-makhluk yang selama ini kita sekap dan kita jagal. Waktu saya dan biksuni (biksu perempuan) Ayya tiba di pelabuhan, Endang dan satu penyu kecil lain (saya beri nama Endang Jr.) sudah menunggu dalam perahu motor. Keduanya beringsut saling mendekat seperti mencari rasa aman. Kondisi Endang tidak terlalu baik.
Kaki depan Endang sobek besar hingga tampak tulangnya mencuat keluar. Lantai perahu bernoda merah di sana-sini karena darah dari luka Endang. Salah satu petugas perahu berkata, "Tidak apa-apa. Penyu itu binatang kuat. Kepalanya putus saja masih bisa hidup. Baru setelah dimasak, dia benar-benar mati." Saya lantas membayangkan, jika tangan saya terluka menganga hingga tulang harus berhadapan dengan udara, seperti apa sakit dan ngilunya? Bagaimana kita bisa mengukur rasa sakit Endang, hanya karena penyu tidak memiliki area broca di otaknya dan tidak berkata-kata? Sementara penyu adalah hewan yang memiliki sistem limbik sempurna, yang memungkinkan ia merasakan sakit, nyeri, ketakutan, sama seperti kita. Namun Endang dengan tulang terpampang memang bernasib lebih baik, karena teman-temannya yang tertangkap akan dibedah hidup-hidup. Dalam posisi terbalik, tempurung mereka disayat, dan daging mereka dipotong-potong di tempat, untuk lalu dijual dan dijadikan sup.
Orang Manado bilang, daging penyu lembut. Namun daging itu aneh, bergerak terus, sekalipun sudah dipotongpotong, dan baru diam setelah matang dimasak. Baru setahun terakhir ini larangan memperdagangkan penyu diperketat dan daging penyu mulai menghilang dari pasar. Sesekali ada nelayan nekat yang tetap mencuri kesempatan dan menjualnya sembunyi-sembunyi. Endang dan Endang Jr. ditebus dengan harga 500 ribu. Harga yang termasuk murah, karena biasanya tiga penyu bisa kena satu juta. Sekitar tiga puluh menit kami melaju ke arah Bunaken. Setelah menemukan satu tempat yang dirasa cukup aman dan sepi untuk melepas duo Endang ini, perahu pun berhenti dan biksuni Ayya mulai membacakan paritta – rangkuman doa dalam agama Buddha. Saya diam dan memejamkan mata. Berharap air laut dan waktu akan menyembuhkan luka Endang. Berharap Endang Jr. bisa tahu rasanya menjadi dewasa, mati secara alamiah di alam bebas, dan bukan dalam mangkok sup.
Berharap kita semua akan menemukan jalan untuk hidup beriringan dengan makhluk lain tanpa perlu menyekap dan memangsa. Kita menangkap Endang dan kawankawannya bukan karena mereka ancaman bagi nyawa kita, tapi karena sebagian dari kita ingin memuaskan lidah dan kita punya cukup uang untuk menyajikannya di meja makan, dan untuk itu sebagian dari kita yang butuh uang rela menangkap Endang dan kawan-kawan, membunuhnya dengan keji. Bukan karena Endang menyerang atau mendendam, tapi karena Endang gurih. Berharap kita semua akan menemukan jalan untuk mengenyangkan perut dengan kekerasan minimal, agar perdamaian dunia yang kita dambakan tidak cuma slogan. Bagi kita, Endang hanyalah satu makan siang, tapi bagi Endang itu masalah hidup dan mati. Dalam diam dan mata masih terpejam, saya teringat cerita petugas tadi. Katanya, penyu-penyu melelehkan airmata saat mereka dicacah hidup-hidup. Endang ternyata bisa menangis. Saya bahkan tak tahu itu. Saat biksuni Ayya usai membacakan paritta, mata saya membuka. Basah. Sore itu, memang bukan Endang yang perlu menangis. Ia dan teman kecilnya cuma perlu berenang lagi.
Belum lagi ikan lele yang kemungkinan besar dihantam di kepala lalu berakhir di penggorengan. Melalui fang shen, kita mengembangkan kasih sayang dan rasa hormat bagi semua makhluk. Keluar dari kerangka pikir manusia pemangsa, lalu dengan sadar mengembalikan hak hidup makhluk-makhluk yang selama ini kita sekap dan kita jagal. Waktu saya dan biksuni (biksu perempuan) Ayya tiba di pelabuhan, Endang dan satu penyu kecil lain (saya beri nama Endang Jr.) sudah menunggu dalam perahu motor. Keduanya beringsut saling mendekat seperti mencari rasa aman. Kondisi Endang tidak terlalu baik.
Kaki depan Endang sobek besar hingga tampak tulangnya mencuat keluar. Lantai perahu bernoda merah di sana-sini karena darah dari luka Endang. Salah satu petugas perahu berkata, "Tidak apa-apa. Penyu itu binatang kuat. Kepalanya putus saja masih bisa hidup. Baru setelah dimasak, dia benar-benar mati." Saya lantas membayangkan, jika tangan saya terluka menganga hingga tulang harus berhadapan dengan udara, seperti apa sakit dan ngilunya? Bagaimana kita bisa mengukur rasa sakit Endang, hanya karena penyu tidak memiliki area broca di otaknya dan tidak berkata-kata? Sementara penyu adalah hewan yang memiliki sistem limbik sempurna, yang memungkinkan ia merasakan sakit, nyeri, ketakutan, sama seperti kita. Namun Endang dengan tulang terpampang memang bernasib lebih baik, karena teman-temannya yang tertangkap akan dibedah hidup-hidup. Dalam posisi terbalik, tempurung mereka disayat, dan daging mereka dipotong-potong di tempat, untuk lalu dijual dan dijadikan sup.
Orang Manado bilang, daging penyu lembut. Namun daging itu aneh, bergerak terus, sekalipun sudah dipotongpotong, dan baru diam setelah matang dimasak. Baru setahun terakhir ini larangan memperdagangkan penyu diperketat dan daging penyu mulai menghilang dari pasar. Sesekali ada nelayan nekat yang tetap mencuri kesempatan dan menjualnya sembunyi-sembunyi. Endang dan Endang Jr. ditebus dengan harga 500 ribu. Harga yang termasuk murah, karena biasanya tiga penyu bisa kena satu juta. Sekitar tiga puluh menit kami melaju ke arah Bunaken. Setelah menemukan satu tempat yang dirasa cukup aman dan sepi untuk melepas duo Endang ini, perahu pun berhenti dan biksuni Ayya mulai membacakan paritta – rangkuman doa dalam agama Buddha. Saya diam dan memejamkan mata. Berharap air laut dan waktu akan menyembuhkan luka Endang. Berharap Endang Jr. bisa tahu rasanya menjadi dewasa, mati secara alamiah di alam bebas, dan bukan dalam mangkok sup.
Berharap kita semua akan menemukan jalan untuk hidup beriringan dengan makhluk lain tanpa perlu menyekap dan memangsa. Kita menangkap Endang dan kawankawannya bukan karena mereka ancaman bagi nyawa kita, tapi karena sebagian dari kita ingin memuaskan lidah dan kita punya cukup uang untuk menyajikannya di meja makan, dan untuk itu sebagian dari kita yang butuh uang rela menangkap Endang dan kawan-kawan, membunuhnya dengan keji. Bukan karena Endang menyerang atau mendendam, tapi karena Endang gurih. Berharap kita semua akan menemukan jalan untuk mengenyangkan perut dengan kekerasan minimal, agar perdamaian dunia yang kita dambakan tidak cuma slogan. Bagi kita, Endang hanyalah satu makan siang, tapi bagi Endang itu masalah hidup dan mati. Dalam diam dan mata masih terpejam, saya teringat cerita petugas tadi. Katanya, penyu-penyu melelehkan airmata saat mereka dicacah hidup-hidup. Endang ternyata bisa menangis. Saya bahkan tak tahu itu. Saat biksuni Ayya usai membacakan paritta, mata saya membuka. Basah. Sore itu, memang bukan Endang yang perlu menangis. Ia dan teman kecilnya cuma perlu berenang lagi.
PACARKU ADA LIMA
Merayap
pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar sekolah merupakan
pelatihan observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam mikroskop,
kecepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang
berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan
penumpang sebanyak-banyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet
jalan aspal, dan manusia... lautan manusia.
Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati. Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati. Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan. Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti. Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup.
Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak: Langit senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan. Dalam kelima hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak bersuaka. Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh berganti, sehat-sakit-susahsenang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk tertawa lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit manusia lain lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana. Sungguh saya tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan dunia materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar sekolah di Jalan Katamso yang sempit tak mampu membendung cinta ini.
Mirror, Mirror on the Wall....
Saya teringat awal tahun 1990-an ketika produk pemutih wajah pertama kali diperkenalkan. Saya baru mulai kuliah saat itu. Saya tak ingat persis yang mana, tapi saya pernah mencoba memakai salah satu produk tersebut, tidak lama-lama karena kurang cocok. Dan dari masa itu hingga sekarang, tak terhitung lagi banyaknya aneka produk pemutih kulit yang ditawarkan berbagai produsen. Cara mereka beriklan pun semakin luar biasa cerdik. Putihnya kulit dihubungkan dengan peluangnya menemukan cinta, dengan putihnya hati nurani, dengan kebahagiaan, hingga perebutan jodoh dalam tujuh hari. Gosong akibat kebanyakan beraktivitas di bawah terik matahari tidak lagi menjadi alasan yang spesial.
Mereka yang kurang putih digambarkan murung, tak mendapat perhatian cukup, selalu dilewatkan oleh sang pujaan, alias tak bahagia. Sementara mereka yang sudah putih atau akhirnya berhasil putih menjadi lebih semringah, diperhatikan orang-orang, dan mendapatkan cinta. Singkat kata, lebih bahagia. Melihat iklan-iklan itu, saya jadi bertanya-tanya, mengorek-ngorek ingatan saya: pernahkah saya bertemu kasus di mana seseorang ditinggalkan karena kurang putih? Atau pernahkah saya sendiri, ketika harus menentukan pasangan, mendasarkan penilaian saya atas kadar melanin kulit mereka? Jujur, saya belum pernah. Pada akhirnya, yang membuat saya betah bersama dengan seseorang adalah kecocokan, ketersambungan sinapsis, hati, dan jiwa.
Sesuatu yang tak bisa diverbalkan atau bahkan divisualisasikan. Dibutuhkan waktu sepuluhan tahun, dan beberapa kali menjadi duta produk perawatan kulit, hingga akhirnya saya memahami bahwa kata 'memutihkan' cenderung menyesatkan (beberapa perusahaan lantas memilih kata 'mencerahkan' karena dianggap lebih realistis). Dibutuhkan pengalaman hidup untuk akhirnya mampu menyimpulkan bahwa tampilan fisik termasuk di dalamnya: warna kulit bukanlah penentu dalam menghadirkan cinta dan kebahagiaan. Dibutuhkan pula obrol-obrol dengan para insan periklanan dan perfilman untuk tahu bahwa bintang iklan pemutih kulit memang sudah putih dari sananya. Kalaupun kurang putih, masih ada lampu, bedak, dan sulap digital yang mampu menghadirkan citra apa saja yang dimau sang pengiklan. Dibutuhkan juga buku genetika dan memetika untuk akhirnya memahami mengapa para perempuan tak hentinya berlomba-lomba mengikuti standar cantik masyarakat, dan para pria tak usainya bepacu menjadi yang paling kaya dan sukses, di luar dari batas logika mereka.
Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan beberapa teman pria saya. Mereka mempertanyakan, kenapa kok pasangan-pasangan mereka, tak henti-hentinya menyoalkan berat badan, gaya busana, kecantikan kulit, dan sebagainya. Saya berceletuk, karena kompetisi genetika. Mereka yang lebih cantik akan punya peluang lebih besar untuk mendapatkan pasangan. Argumen saya dibalas lagi: tapi kan mereka sudah memperoleh pasangan yakni, teman-teman saya tadi. Lalu, kok masih terus-terusan repot? Mereka repot berdandan untuk siapa, dan untuk apa? Padahal teman-teman saya tidak merasa memberikan aneka tuntutan atas penampilan mereka.
Kalau sudah cinta, ya, cinta saja. Jika kaum perempuan mendengar pernyataan itu, pastilah mereka bilang bahwa teman-teman saya itu spesies langka, atau mungkin cuma munafik. Tidak ada pria di muka Bumi ini yang tidak menginginkan pasangannya cantik dan menarik. Namun saya tidak terburu-buru melempar komentar senada. Apa yang dibilang teman-teman saya cukup logis, memang. Kalau pasangannya sudah dapat, jadi buat apa lagi repot? Lalu saya berceletuk lagi, bahwa selama perempuan itu masih subur, dan selama pasangannya pun masih sanggup bereproduksi, kompetisi genetika tidak akan pernah selesai. Baik perempuan, maupun laki-laki, akan selalu berada di bawah bayang-bayang kendali primordial mereka: prokreasi. Agenda genetika hanya satu: kelangsungan hidup dan replikasi diri. Bagi kaum hawa, kebutuhan itu lantas diterjemahkan menjadi kompetisi keamanan dan kepastian bagi dirinya serta keturunannya. Bagi kaum adam, penerjemahannya adalah kompetisi menjadi yang terkuat agar berpeluang besar untuk meneruskan keturunan.
Dalam perkembangan peradaban, tentu konsep ini pun semakin canggih dan berlapis-lapis, walau jika dikupas isinya sama-sama saja. 'Kuat' pada zaman batu berarti cerdik dan tangguh hingga mampu menghadapi ancaman predator. 'Cantik' pada zaman itu artinya subur hingga mampu beranak banyak. Sekarang, 'kuat' berarti aset finansial, 'cantik' berarti dada-pinggul besar, berdandan seksi, cerdas, dan seterusnya. Silakan dikupas, dan kita akan menemukan inti yang sama: keamanan dan jaminan prokreasi.
Seumpama jerapah yang berevolusi
hingga lehernya panjang, otak manusia pun berkembang sedemikian rupa
hingga kita bisa berkomunikasi dengan akurat sampai akhirnya menjadi
spesies penguasa. Dilihat dari proporsi tubuh kita, para hewan akan
melihat bayi manusia sebagai makhluk aneh dengan otak yang terlampau
besar. Dan itulah hadiah evolusi untuk manusia. Sebagai makhluk tak
bercakar, tak bertaring, dan kulit yang terlampau halus, manusia
berhasil menjadi spesies dominan karena kecanggihan otaknya dan
keterampilan jemarinya.
Manusia bukan pula semata-mata budak genetika. Evolusi spesies kita menghadirkan satu elemen lain, yang dikenal dengan istilah: akal budi. Lewat akal budi pulalah lantas tercipta 'aku' atau 'ego'. Binatang tak memiliki ini. 'Aku' otomatis menciptakan 'kamu', 'kita', 'mereka', 'dia'. 'Aku' menciptakan keterpisahan. Dan 'aku' jugalah yang mendambakan penyatuan. Inilah dualitas mendasar, harga yang harus dibayar untuk menjalankan kehidupan sebagai spesies bernama manusia. 'Aku' adalah sarana vital agar kita semua mampu melangsungkan hidup, tapi 'aku' juga bisa menjadi sumber segala bencana jika kita hanyut dalam ilusi yang dihadirkannya. Hadiah evolusi ini menjadi pedang bermata ganda. Kini, kita melihat dan menuai hasilnya. Di satu sisi, dibungkus dengan konsep cantik seperti 'asmara' atau 'gaya hidup', manusia bisa mengeruk habis isi bumi dan kecanduan sensasi indrawi. Di sisi lain, dibungkus dengan konsep adiluhung seperti 'cinta' dan 'ilahi', manusia pun bisa menjadi malaikat pelindung bagi makhluk lain, berpuasa, bahkan hidup selibat. Hewan, yang sepenuhnya dikuasai agenda genetika, tidak akan mengenal konsep berpuasa demi kesucian. Instingnya akan selalu mengatakan 'makan!' jika lapar, 'kawin!' jika musimnya kawin.
Saat mulai riset untuk novel yang saya tulis, Supernova Partikel, saya menemukan banyak fakta menarik. Kesenjangan DNA antara simpanse dengan gorila ternyata lebih jauh tiga kali lipat dibandingkan dengan kesenjangan DNA antara simpanse dengan manusia. Yang artinya, manusia lebih mirip simpanse, ketimbang simpanse dengan gorila yang padahal di mata kita sama-sama monyet. Konon, Carolus Linnaeus memisahkan manusia dari bangsa hewan hanya karena takut dimarahi pihak gereja. Pada kenyataannya, kita bertetangga lebih dekat dengan binatang, ketimbang antarbinatang itu sendiri. Tidakkah ini lucu? Saya tergeli-geli ketika tahu fakta itu. Betapa dahsyatnya aparatus bernama 'aku' sehingga kita dimampukan untuk mengabaikan fakta dan lantas menyebut diri makhluk mulia.
Pernahkah kita renungi, bahwa terlepas dari kemampuan manusia untuk menjadi sungguhan mulia, tapi atas nama kemuliaan, kita sering terlena dalam ilusi kolektif kita sebagai representatif agung yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi penguasa langit dan bumi hingga tak sadar bahwa kita pun sedang membunuhnya perlahan? Inilah yang menjadikan manusia makhluk paradoks yang luar biasa. Kita adalah arena pertempuran antara gen dan mem yang pada dasarnya hanya ingin mereplikasi diri, tapi isi agendanya tak selalu sejalan. Kita adalah konflik yang berjalan di atas dua kaki, dari mulai kita bangun pagi hingga kembali tidur. Kembali pada obrolan saya dengan teman-teman saya. Mungkin sama seperti Anda, pada titik ini mereka pun garuk-garuk kepala, mengapa pembahasan soal iklan pemutih bisa berkembang liar menjadi urusan taksonomi, genetika, dan memetika? Saya pun berkata, bahwa gelinya saya ketika tahu segitiga DNA manusia-simpanse-gorila sama dengan gelinya saya waktu menonton iklan pemutih wajah itu. Apa yang mereka reklamekan sesungguhnya bukanlah perlombaan menuju bahagia, melainkan perlombaan genetika yang tak ada hubungannya dengan kebahagiaan, putihnya hati, atau cinta sejati. Sebaliknya, kita berpotensi besar untuk berpacu menuju ketidakbahagiaan, karena agenda genetika tak mungkin dipuaskan. Muncullah pertanyaan kami bersama: apa gunanya tahu tentang perbudakan gen dan mem ini kalau memang tidak bisa dilawan? Saya pun kembali merenung. Mungkinkah itu dilawan? Tidakkah hal tersebut menjadi konflik baru? Mungkinkah, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyadarinya? Dan mungkin saja, dari penyadaran itu, kita lebih awas dan hati-hati dalam bertindak, dalam memilih, dalam memilah? Hingga kita bisa lebih bijak dan menahan diri untuk mengonsumsi sesuatu? Hingga pedang bermata ganda ini dapat dipakai dengan konstruktif, bukannya destruktif? Mengetahui sesuatu tak selalu berujung pada perlawanan. Karena perlawanan tanpa kebijaksanaan akan berujung pada perang reaksioner yang sia-sia. Tak selamanya tombol primordial itu 'buruk', bagaimanapun tombol-tombol itu ada untuk pertahanan diri dan merupakan paket dari eksistensi kita. Namun tak selamanya pula tombol-tombol itu harus terus dipenuhi dan diberi reaksi. Dengan laju peradaban dan kapasitas manusia yang kini begitu luar biasa, seringkali kita memang harus lebih banyak menahan diri bukan atas nama penyangkalan, tapi justru untuk kelangsungan kehidupan bersama, koeksistensi dengan semua makhluk, termasuk spesies kita sendiri.
Dengan demikian, kita lebih bisa memusatkan fokus dan energi kita untuk hal-hal yang esensial. Jika yang dicari putihnya hati, seberapa relevankah lagi zat seperti hydroquinone atau vitamin B3? Jika yang dicari adalah ketenangan batin, seberapa relevankah lagi papan sit-up, ikat pinggang penghancur lemak, pil pelangsing, sumpalan silikon, hidung lebih bangir, dan seterusnya? Dan seperti buta, kita justru melewatkan hal-hal yang membuat diri kita lebih tenteram dan mawas. Sore itu, di dalam toilet saya bercermin, lalu bertanya pada diri sendiri: akankah saya bertambah bahagia jika kulit saya lebih putih, mulus tanpa cacat cela? Mungkin iya, mungkin tidak.
Namun sanggupkah saya mentransendensi apa yang saya lihat di cermin, dan menyadari bahwa bahkan yang namanya kebahagiaan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita dari konflik meski hanya semenit-dua menit adalah kedamaian sejati, yang hanya bisa dilakukan bukan dengan menahan melanin atau menghapus keriput, tapi menyadari dan menerima keadaan kita apa adanya sekarang ini, fisik dan juga mental? Saya rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya. Dan saya pun tahu, pertanyaan semacam itu tak akan laku jika diiklankan.
Namun saya juga yakin, pertanyaan itulah yang menggantungi setiap dari kita, spesies manusia, dan menggetok kepala kita satu hari, pada satu momen yang sempurna.
Manusia bukan pula semata-mata budak genetika. Evolusi spesies kita menghadirkan satu elemen lain, yang dikenal dengan istilah: akal budi. Lewat akal budi pulalah lantas tercipta 'aku' atau 'ego'. Binatang tak memiliki ini. 'Aku' otomatis menciptakan 'kamu', 'kita', 'mereka', 'dia'. 'Aku' menciptakan keterpisahan. Dan 'aku' jugalah yang mendambakan penyatuan. Inilah dualitas mendasar, harga yang harus dibayar untuk menjalankan kehidupan sebagai spesies bernama manusia. 'Aku' adalah sarana vital agar kita semua mampu melangsungkan hidup, tapi 'aku' juga bisa menjadi sumber segala bencana jika kita hanyut dalam ilusi yang dihadirkannya. Hadiah evolusi ini menjadi pedang bermata ganda. Kini, kita melihat dan menuai hasilnya. Di satu sisi, dibungkus dengan konsep cantik seperti 'asmara' atau 'gaya hidup', manusia bisa mengeruk habis isi bumi dan kecanduan sensasi indrawi. Di sisi lain, dibungkus dengan konsep adiluhung seperti 'cinta' dan 'ilahi', manusia pun bisa menjadi malaikat pelindung bagi makhluk lain, berpuasa, bahkan hidup selibat. Hewan, yang sepenuhnya dikuasai agenda genetika, tidak akan mengenal konsep berpuasa demi kesucian. Instingnya akan selalu mengatakan 'makan!' jika lapar, 'kawin!' jika musimnya kawin.
Saat mulai riset untuk novel yang saya tulis, Supernova Partikel, saya menemukan banyak fakta menarik. Kesenjangan DNA antara simpanse dengan gorila ternyata lebih jauh tiga kali lipat dibandingkan dengan kesenjangan DNA antara simpanse dengan manusia. Yang artinya, manusia lebih mirip simpanse, ketimbang simpanse dengan gorila yang padahal di mata kita sama-sama monyet. Konon, Carolus Linnaeus memisahkan manusia dari bangsa hewan hanya karena takut dimarahi pihak gereja. Pada kenyataannya, kita bertetangga lebih dekat dengan binatang, ketimbang antarbinatang itu sendiri. Tidakkah ini lucu? Saya tergeli-geli ketika tahu fakta itu. Betapa dahsyatnya aparatus bernama 'aku' sehingga kita dimampukan untuk mengabaikan fakta dan lantas menyebut diri makhluk mulia.
Pernahkah kita renungi, bahwa terlepas dari kemampuan manusia untuk menjadi sungguhan mulia, tapi atas nama kemuliaan, kita sering terlena dalam ilusi kolektif kita sebagai representatif agung yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi penguasa langit dan bumi hingga tak sadar bahwa kita pun sedang membunuhnya perlahan? Inilah yang menjadikan manusia makhluk paradoks yang luar biasa. Kita adalah arena pertempuran antara gen dan mem yang pada dasarnya hanya ingin mereplikasi diri, tapi isi agendanya tak selalu sejalan. Kita adalah konflik yang berjalan di atas dua kaki, dari mulai kita bangun pagi hingga kembali tidur. Kembali pada obrolan saya dengan teman-teman saya. Mungkin sama seperti Anda, pada titik ini mereka pun garuk-garuk kepala, mengapa pembahasan soal iklan pemutih bisa berkembang liar menjadi urusan taksonomi, genetika, dan memetika? Saya pun berkata, bahwa gelinya saya ketika tahu segitiga DNA manusia-simpanse-gorila sama dengan gelinya saya waktu menonton iklan pemutih wajah itu. Apa yang mereka reklamekan sesungguhnya bukanlah perlombaan menuju bahagia, melainkan perlombaan genetika yang tak ada hubungannya dengan kebahagiaan, putihnya hati, atau cinta sejati. Sebaliknya, kita berpotensi besar untuk berpacu menuju ketidakbahagiaan, karena agenda genetika tak mungkin dipuaskan. Muncullah pertanyaan kami bersama: apa gunanya tahu tentang perbudakan gen dan mem ini kalau memang tidak bisa dilawan? Saya pun kembali merenung. Mungkinkah itu dilawan? Tidakkah hal tersebut menjadi konflik baru? Mungkinkah, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyadarinya? Dan mungkin saja, dari penyadaran itu, kita lebih awas dan hati-hati dalam bertindak, dalam memilih, dalam memilah? Hingga kita bisa lebih bijak dan menahan diri untuk mengonsumsi sesuatu? Hingga pedang bermata ganda ini dapat dipakai dengan konstruktif, bukannya destruktif? Mengetahui sesuatu tak selalu berujung pada perlawanan. Karena perlawanan tanpa kebijaksanaan akan berujung pada perang reaksioner yang sia-sia. Tak selamanya tombol primordial itu 'buruk', bagaimanapun tombol-tombol itu ada untuk pertahanan diri dan merupakan paket dari eksistensi kita. Namun tak selamanya pula tombol-tombol itu harus terus dipenuhi dan diberi reaksi. Dengan laju peradaban dan kapasitas manusia yang kini begitu luar biasa, seringkali kita memang harus lebih banyak menahan diri bukan atas nama penyangkalan, tapi justru untuk kelangsungan kehidupan bersama, koeksistensi dengan semua makhluk, termasuk spesies kita sendiri.
Dengan demikian, kita lebih bisa memusatkan fokus dan energi kita untuk hal-hal yang esensial. Jika yang dicari putihnya hati, seberapa relevankah lagi zat seperti hydroquinone atau vitamin B3? Jika yang dicari adalah ketenangan batin, seberapa relevankah lagi papan sit-up, ikat pinggang penghancur lemak, pil pelangsing, sumpalan silikon, hidung lebih bangir, dan seterusnya? Dan seperti buta, kita justru melewatkan hal-hal yang membuat diri kita lebih tenteram dan mawas. Sore itu, di dalam toilet saya bercermin, lalu bertanya pada diri sendiri: akankah saya bertambah bahagia jika kulit saya lebih putih, mulus tanpa cacat cela? Mungkin iya, mungkin tidak.
Namun sanggupkah saya mentransendensi apa yang saya lihat di cermin, dan menyadari bahwa bahkan yang namanya kebahagiaan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita dari konflik meski hanya semenit-dua menit adalah kedamaian sejati, yang hanya bisa dilakukan bukan dengan menahan melanin atau menghapus keriput, tapi menyadari dan menerima keadaan kita apa adanya sekarang ini, fisik dan juga mental? Saya rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya. Dan saya pun tahu, pertanyaan semacam itu tak akan laku jika diiklankan.
Namun saya juga yakin, pertanyaan itulah yang menggantungi setiap dari kita, spesies manusia, dan menggetok kepala kita satu hari, pada satu momen yang sempurna.
Menyibak Aku Melalui Kamu
Lebih dari
setahun yang lalu, saya pernah membuat sebuah tulisan berjudul "Brunch
and Lunch With God" di blog saya. Di sana, saya menggunakan
personifikasi Lucky Luke, tokoh komik berprofesi koboi pengelana, yang
tak pernah menetap di satu tempat, dan tak mengikatkan diri pada apa
pun. Dalam penelusuran spiritual, seringkali (jika tidak selalu) saya
merasa seperti Lucky Luke, Sang Lonesome Cowboy, berkuda sendirian
menghadap matahari terbenam.
Ketika akhirnya memutuskan ikut retreat Enlightenment Intensive yang diadakan di Ubud tanggal 3-5 Agustus 2007 lalu, saya pun melenggang seperti seorang Lucky Luke, sendirian dan tanpa pengharapan. Dalam tiga hari ke depan kala itu, enambelas peserta akan menjalankan satu metode bernama Dyad (berasal dari bahasa Latin yang berarti 'dua'). Fasilitator kami, Jack Wexler (Zyoah), sudah berpuluh tahun menjalankan metode ini, dan bahkan mengembangkannya ke berbagai format. Metode yang pertama kali digagas oleh seorang spiritualis bernama Charles Berner ini pada dasarnya adalah kontemplasi mendalam terhadap koan Zen yang didesain sedemikian rupa agar jerat logika pikiran dapat tertransendensi. Bedanya, jika seseorang lazimnya memecahkan koan Zen dengan bermeditasi diam berhari-hari, dalam Dyad koan tersebut digarap oleh dua orang sekaligus dalam bentuk mendengar dan mengungkap. Mendengar dan mengungkap berbeda dengan bertanya dan menjawab.
Dyad bukanlah percakapan. Meski pertanyaan tetap digunakan sebagai pancing, si penanya tidak mengharap jawaban, ia berperan sebagai cermin bagi pasangan Dyad-nya. Cermin sempurna tidaklah bereaksi, tidak mengevaluasi, tidak menjustifikasi, tapi hanya menawarkan keberadaannya secara total. Demikian pula dengan yang ditanya, ia tidak diharap memberi jawaban, melainkan mengungkap apa pun dalam medan kesadarannya yang terpancing oleh koan tersebut, baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Berbekal kail tunggal "tell me who you are", satu putaran Dyad berlangsung selama 40 menit. Dalam satu putarannya, seseorang mendapat giliran empat kali menjadi pendengar, dan empat kali menjadi pengungkap.
Ketika akhirnya memutuskan ikut retreat Enlightenment Intensive yang diadakan di Ubud tanggal 3-5 Agustus 2007 lalu, saya pun melenggang seperti seorang Lucky Luke, sendirian dan tanpa pengharapan. Dalam tiga hari ke depan kala itu, enambelas peserta akan menjalankan satu metode bernama Dyad (berasal dari bahasa Latin yang berarti 'dua'). Fasilitator kami, Jack Wexler (Zyoah), sudah berpuluh tahun menjalankan metode ini, dan bahkan mengembangkannya ke berbagai format. Metode yang pertama kali digagas oleh seorang spiritualis bernama Charles Berner ini pada dasarnya adalah kontemplasi mendalam terhadap koan Zen yang didesain sedemikian rupa agar jerat logika pikiran dapat tertransendensi. Bedanya, jika seseorang lazimnya memecahkan koan Zen dengan bermeditasi diam berhari-hari, dalam Dyad koan tersebut digarap oleh dua orang sekaligus dalam bentuk mendengar dan mengungkap. Mendengar dan mengungkap berbeda dengan bertanya dan menjawab.
Dyad bukanlah percakapan. Meski pertanyaan tetap digunakan sebagai pancing, si penanya tidak mengharap jawaban, ia berperan sebagai cermin bagi pasangan Dyad-nya. Cermin sempurna tidaklah bereaksi, tidak mengevaluasi, tidak menjustifikasi, tapi hanya menawarkan keberadaannya secara total. Demikian pula dengan yang ditanya, ia tidak diharap memberi jawaban, melainkan mengungkap apa pun dalam medan kesadarannya yang terpancing oleh koan tersebut, baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Berbekal kail tunggal "tell me who you are", satu putaran Dyad berlangsung selama 40 menit. Dalam satu putarannya, seseorang mendapat giliran empat kali menjadi pendengar, dan empat kali menjadi pengungkap.
Jujur,
awalnya saya tidak bisa membayangkan bagaimana momen pencerahan atau
satori dapat terjadi dengan 'kebisingan' komunikasi ini. Belum lagi
luberan audio dari kanan-kiri, karena kami melakukan Dyad ini
bersama-sama dalam satu ruangan. Sekilas pintas, saya melihatnya seperti
ajang curhat massal, di mana terdapat enam belas orang psikiater
dadakan yang merelakan kupingnya selama tiga hari ke depan untuk
menampung curhat dan sampah batin orang lain, sekaligus mengambil
giliran jadi pasien sekaligus. Namun ketika dijalankan, saya mulai
menemukan banyak pengalaman menarik. Setiap pasangan ternyata
menghadirkan dinamika yang berbeda-beda dan tak terduga-duga. Terkadang
kami tertawa bersama, bahkan bernyanyi bersama, atau malah bisu bersama.
Dan jika kita membuka diri secara total pada keberadaan seseorang,
ternyata setiap dari kita memancarkan kecantikan dan keindahan yang luar
biasa, terlepas dari penilaian fisik yang berlaku umum di masyarakat.
Selama Dyad, tak jarang saya hanya menangis, mengagumi kesempurnaan yang
terhampar melalui partner saya, dan membuat saya merenung:
jangan-jangan di dunia ini tidak ada yang sesungguhnya tidak indah,
hanya kita yang tak pernah memberikan perhatian penuh sehingga keindahan
itu kerap luput.
Proses Dyad juga bisa menjadi perjuangan yang melelahkan. Saat pikiran dan batin kita benar-benar dikuras, saat kita jenuh setengah mati dengan kegiatan mengungkap dan mendengar, durasi lima menit bisa serasa lima jam. Jangan tanya berapa kali saya berkeinginan untuk mencelat keluar ruangan, atau berencana membuat perhitungan dengan sahabat saya yang menawarkan retreat ini. Kalimat "tell me who you are" bisa terdengar seperti hukuman. Hari terakhir. Retreat akan selesai beberapa jam lagi. Seusai istirahat siang, saya berjalan kembali ke ruangan dengan satu kegelisahan: dalam tiga hari ini, saya menyadari begitu banyak mutiara yang telah saya dapat, tapi si 'itu' yang saya cari sepertinya belum ketemu, sementara batin dan benak ini rasanya sudah kehabisan bahan. Kosong. Tak ada lagi yang ingin diungkap. Tak ada lagi yang ingin dibagi. Duduklah saya di hadapan partner saya siang itu.
Sungguh tak tahu harus beraksi apa lagi. Tiga dari empat kali lima menit saya habiskan dengan tertawa terpingkal-pingkal. Sejadi-jadinya. 'Kekosongan' itu mendadak terasa lucu luar biasa. Pada giliran terakhir, tawa saya mereda dan sesuatu merambat naik ke medan kesadaran, bertepatan dengan suara kokok ayam jantan dari kejauhan. Dan terjadilah... pada saat yang paling tak diduga, pada momen yang sungguh tak ditunggu, kokok ayam itu membangunkan saya dari mimpi; dari belitan realitas yang disusun oleh pikiran dan interior mental saya. Dengan mata terbuka, saya menyadari apa yang selama ini ada bersama dengan saya tapi tak disadari keberadaannya.
Dan saya mencari 'itu' persis seperti ikan dalam akuarium yang mencari-cari air. Sama halnya dengan hampir semua pengalaman meditasi, bahwa kata-kata hanyalah penunjuk dan bukan realitas yang sesungguhnya, maka deskripsi atas pengalaman tadi amat sangat susah diungkapkan, jika memang tak mungkin. Barangkali kalau saya bercerita bahwa sesudah momen itu saya jadi melihat warna-warni aura, atau terbang menembus awan, kisah ini akan lebih dramatis dan meyakinkan.
Sayangnya bukan itu yang terjadi. Yang terjadi adalah sejenak lepasnya ego, yakni konsep 'aku' yang dibentuk oleh persepsi, ruang, dan waktu. Sejenak, 'Dewi Lestari' berhenti menjadi pusat, melainkan objek dalam medan kesadaran itu sendiri. Segala perasaan, kenangan, dan buah pikiran tidak lagi menjadi properti eksklusif si 'aku'. Yang tercipta adalah sebuah kesadaran egaliter, inklusif, dan bukan semata-mata kesadaran versinya 'Dewi Lestari'. Jika dalam semua Dyad sebelumnya saya masih 'bercerita', pada momen itu saya berhenti 'menceritakan', berhenti 'mendeskripsikan', melainkan berintegrasi langsung dengan kenyataan yang berjalan momen demi momen. Koan "tell me who you are" kali ini dijawab bukan oleh saya, melainkan oleh kokok ayam, kicau burung, kepak kupu-kupu yang melintas, desir angin, dan apa pun yang melintas dalam medan kesadaran... apa adanya. Si 'aku' tak lagi menjadi perintang, dan tak lagi mencoba menjembatani.
Proses Dyad juga bisa menjadi perjuangan yang melelahkan. Saat pikiran dan batin kita benar-benar dikuras, saat kita jenuh setengah mati dengan kegiatan mengungkap dan mendengar, durasi lima menit bisa serasa lima jam. Jangan tanya berapa kali saya berkeinginan untuk mencelat keluar ruangan, atau berencana membuat perhitungan dengan sahabat saya yang menawarkan retreat ini. Kalimat "tell me who you are" bisa terdengar seperti hukuman. Hari terakhir. Retreat akan selesai beberapa jam lagi. Seusai istirahat siang, saya berjalan kembali ke ruangan dengan satu kegelisahan: dalam tiga hari ini, saya menyadari begitu banyak mutiara yang telah saya dapat, tapi si 'itu' yang saya cari sepertinya belum ketemu, sementara batin dan benak ini rasanya sudah kehabisan bahan. Kosong. Tak ada lagi yang ingin diungkap. Tak ada lagi yang ingin dibagi. Duduklah saya di hadapan partner saya siang itu.
Sungguh tak tahu harus beraksi apa lagi. Tiga dari empat kali lima menit saya habiskan dengan tertawa terpingkal-pingkal. Sejadi-jadinya. 'Kekosongan' itu mendadak terasa lucu luar biasa. Pada giliran terakhir, tawa saya mereda dan sesuatu merambat naik ke medan kesadaran, bertepatan dengan suara kokok ayam jantan dari kejauhan. Dan terjadilah... pada saat yang paling tak diduga, pada momen yang sungguh tak ditunggu, kokok ayam itu membangunkan saya dari mimpi; dari belitan realitas yang disusun oleh pikiran dan interior mental saya. Dengan mata terbuka, saya menyadari apa yang selama ini ada bersama dengan saya tapi tak disadari keberadaannya.
Dan saya mencari 'itu' persis seperti ikan dalam akuarium yang mencari-cari air. Sama halnya dengan hampir semua pengalaman meditasi, bahwa kata-kata hanyalah penunjuk dan bukan realitas yang sesungguhnya, maka deskripsi atas pengalaman tadi amat sangat susah diungkapkan, jika memang tak mungkin. Barangkali kalau saya bercerita bahwa sesudah momen itu saya jadi melihat warna-warni aura, atau terbang menembus awan, kisah ini akan lebih dramatis dan meyakinkan.
Sayangnya bukan itu yang terjadi. Yang terjadi adalah sejenak lepasnya ego, yakni konsep 'aku' yang dibentuk oleh persepsi, ruang, dan waktu. Sejenak, 'Dewi Lestari' berhenti menjadi pusat, melainkan objek dalam medan kesadaran itu sendiri. Segala perasaan, kenangan, dan buah pikiran tidak lagi menjadi properti eksklusif si 'aku'. Yang tercipta adalah sebuah kesadaran egaliter, inklusif, dan bukan semata-mata kesadaran versinya 'Dewi Lestari'. Jika dalam semua Dyad sebelumnya saya masih 'bercerita', pada momen itu saya berhenti 'menceritakan', berhenti 'mendeskripsikan', melainkan berintegrasi langsung dengan kenyataan yang berjalan momen demi momen. Koan "tell me who you are" kali ini dijawab bukan oleh saya, melainkan oleh kokok ayam, kicau burung, kepak kupu-kupu yang melintas, desir angin, dan apa pun yang melintas dalam medan kesadaran... apa adanya. Si 'aku' tak lagi menjadi perintang, dan tak lagi mencoba menjembatani.
Masih ada dua
kali Dyad sore itu. Dan dalam sesi Dyad yang terakhir, barulah saya
temukan cara paling mendekati untuk mengungkap 'itu'. Saya memohon izin
pada pasangan saya untuk menggenggam tangannya, lalu meletakkannya di
atas degup jantung saya. Kapankah jantung kita berada di masa lalu atau
di masa depan? Satu kali pun tak pernah. Ia bahkan takkan sanggup untuk
itu. Jantung kita mendegupkan hidupnya selalu di saat ini. Kita tak
mampu memutar balik degup jantung kita yang lewat, atau memproyeksikan
degup jantung kita di waktu yang akan datang. Dan di sanalah 'itu' ada.
Dalam saat ini. Tak satu pun kata mampu meringkusnya. Dyad selama tiga hari dua malam di Ubud menjadi pengalaman yang unik, karena tidak hanya saya mengalami momen satori tersebut dalam kondisi mata terbuka, tapi juga dengan seorang pasangan. Bukan dalam gelap dan kesendirian. Dan barangkali itu jugalah satu sisi yang saya luput dari profil Lucky Luke. Selama ini saya melihat dia sendirian, padahal tidak. Lucky Luke berkelana di atas pelana Jolly Jumper.
Dan dibutuhkan kesadaran yang egaliter dan inklusif untuk mampu melihat signifikansi peran Jolly Jumper dalam perjalanan koboi soliter itu. Lucky Luke dalam analogi ini melambangkan figur 'aku' sebagai pusat yang eksklusif, dan semua selain 'aku' menjadi fenomena sekunder. Namun ketika dominasi 'aku' mereda, kesadaran pun mengembang, merangkul semua, dan tak ada lagi hierarki primer-sekunder. Jolly Jumper bertransendensi sebagai pasangan yang bergandeng tangan dengan sang koboi, bukan lagi figuran. Bukan pula semata kebetulan jika salah satu sahabat yang saya profilkan dalam artikel "Brunch and Lunch with God" menjadi pasangan Dyad saya terakhir di Ubud. Kehadirannya melengkapkan kesimpulan saya bahwa penelusuran spiritual ini tidak sesendirian yang saya duga.
Dalam dinamika kehidupan kita, semua manusia dan makhluk berperan sebagai kail pancing untuk menemukan kesejatian itu, tak terkecuali ayam jago yang kokoknya ikut 'membangunkan' saya yang sampai retreat selesai pun tidak bisa saya alokasi keberadaannya, namun sungguh saya rasakan kehadirannya. Andai ayam itu bisa saya temukan, saya ingin membungkuk, berterima kasih dan berkata: melalui kamu, aku menyibak 'aku'. Sebagaimana saya membungkuk dan berterima kasih pada semua partner Dyad saya, Zyoah, dan langit biru Ubud.
Dalam saat ini. Tak satu pun kata mampu meringkusnya. Dyad selama tiga hari dua malam di Ubud menjadi pengalaman yang unik, karena tidak hanya saya mengalami momen satori tersebut dalam kondisi mata terbuka, tapi juga dengan seorang pasangan. Bukan dalam gelap dan kesendirian. Dan barangkali itu jugalah satu sisi yang saya luput dari profil Lucky Luke. Selama ini saya melihat dia sendirian, padahal tidak. Lucky Luke berkelana di atas pelana Jolly Jumper.
Dan dibutuhkan kesadaran yang egaliter dan inklusif untuk mampu melihat signifikansi peran Jolly Jumper dalam perjalanan koboi soliter itu. Lucky Luke dalam analogi ini melambangkan figur 'aku' sebagai pusat yang eksklusif, dan semua selain 'aku' menjadi fenomena sekunder. Namun ketika dominasi 'aku' mereda, kesadaran pun mengembang, merangkul semua, dan tak ada lagi hierarki primer-sekunder. Jolly Jumper bertransendensi sebagai pasangan yang bergandeng tangan dengan sang koboi, bukan lagi figuran. Bukan pula semata kebetulan jika salah satu sahabat yang saya profilkan dalam artikel "Brunch and Lunch with God" menjadi pasangan Dyad saya terakhir di Ubud. Kehadirannya melengkapkan kesimpulan saya bahwa penelusuran spiritual ini tidak sesendirian yang saya duga.
Dalam dinamika kehidupan kita, semua manusia dan makhluk berperan sebagai kail pancing untuk menemukan kesejatian itu, tak terkecuali ayam jago yang kokoknya ikut 'membangunkan' saya yang sampai retreat selesai pun tidak bisa saya alokasi keberadaannya, namun sungguh saya rasakan kehadirannya. Andai ayam itu bisa saya temukan, saya ingin membungkuk, berterima kasih dan berkata: melalui kamu, aku menyibak 'aku'. Sebagaimana saya membungkuk dan berterima kasih pada semua partner Dyad saya, Zyoah, dan langit biru Ubud.
Mengenang Sendok dan Sedotan
Di tengah sawah dan hotel mewah di Ubud, saat saya dan beberapa rekan
penulis diminta hadir oleh UNAIDS untuk program pengenalan HIV/AIDS.
Saya sempat bertanya dalam hati: adakah titik balik di mana virus
mematikan itu dapat menjadi akselerator kehidupan? Dan 'hidup' dalam
konteks ini artinya bukan berapa lama kita bernapas, melainkan seberapa
bermakna kita mampu memanfaatkan hidup, mortalitas yang berbatas ini?
Momen serupa saya alami ketika menghadiri peluncuran buku almarhumah
Suzanna Murni, seorang aktivis HIV/AIDS yang mendirikan Yayasan
Spiritia.
Saya terenyak dan terhanyut membaca buku Suzanna. Pertama, karena otentisitas dan kejujurannya. Kedua, karena Suzanna adalah seorang penulis yang sangat bagus. Dan kembali saya merenung, HIV bisa jadi hadiah terindah yang didapat oleh Suzanna Murni. Dengan mengetahui keberadaan bom waktu yang dapat menyudahi hidupnya setiap saat, Suzanna menggunakan energi dan waktunya untuk membangun, membantu, dan berkarya.
Sementara kebanyakan dari kita menjalani hari-hari seperti mayat hidup yang bergerak tapi mati, ada dan tiada, tanpa makna dan tujuan, tanpa menghargai keindahan dan keajaiban proses bernama hidup. Saya lalu kembali dihubungi oleh UNAIDS untuk menjadi mentor dalam program pelatihan menulis bagi para ODHA. Dan di sinilah untuk pertama kalinya saya berinteraksi dekat dengan teman-teman ODHA. Sejujurnya, saya merasa tidak perlu mencantumkan keterangan 'ODHA', yang seolah-olah memagari mereka dengan saya atau dengan orang-orang lain. Sama halnya seperti saya merasa tidak perlu mengatakan 'teman-teman leukeumia' atau 'teman-teman hipertensi'. ODHA pasti mati, saya yang bukan ODHA juga pasti mati. Bom waktu itu ada di mana-mana. Kematian adalah jaminan, sebuah kepastian. Caranya saja yang bervariasi, hasil akhir toh sama.
Saya terenyak dan terhanyut membaca buku Suzanna. Pertama, karena otentisitas dan kejujurannya. Kedua, karena Suzanna adalah seorang penulis yang sangat bagus. Dan kembali saya merenung, HIV bisa jadi hadiah terindah yang didapat oleh Suzanna Murni. Dengan mengetahui keberadaan bom waktu yang dapat menyudahi hidupnya setiap saat, Suzanna menggunakan energi dan waktunya untuk membangun, membantu, dan berkarya.
Sementara kebanyakan dari kita menjalani hari-hari seperti mayat hidup yang bergerak tapi mati, ada dan tiada, tanpa makna dan tujuan, tanpa menghargai keindahan dan keajaiban proses bernama hidup. Saya lalu kembali dihubungi oleh UNAIDS untuk menjadi mentor dalam program pelatihan menulis bagi para ODHA. Dan di sinilah untuk pertama kalinya saya berinteraksi dekat dengan teman-teman ODHA. Sejujurnya, saya merasa tidak perlu mencantumkan keterangan 'ODHA', yang seolah-olah memagari mereka dengan saya atau dengan orang-orang lain. Sama halnya seperti saya merasa tidak perlu mengatakan 'teman-teman leukeumia' atau 'teman-teman hipertensi'. ODHA pasti mati, saya yang bukan ODHA juga pasti mati. Bom waktu itu ada di mana-mana. Kematian adalah jaminan, sebuah kepastian. Caranya saja yang bervariasi, hasil akhir toh sama.
Di sebuah penginapan di Karang
Setra, saya berkenalan dengan empat peserta program mentoring. Saya
mengamati mereka satu per satu, yang kebetulan semuanya perempuan. Satu
bertubuh kecil mungil. Dua peserta lain posturnya jauh lebih berisi
ketimbang saya. Satu sedang mengandung enam bulan. Tugas demi tugas
mereka lakukan dengan cemerlang, bahkan di luar dugaan. Hanya ada satu
program yang kami terpaksa batalkan: menulis di kebun binatang. Pada
saat itu isu flu burung sedang santer-santernya di kota Bandung, dan
demi keamanan kondisi kesehatan mereka, kami memutuskan untuk tidak
pergi. Barulah saya merasakan ada restriksi itu, kondisi-kondisi khusus
yang membedakan ruang gerak kami. Selebihnya, tak terasa ada perbedaan
sama sekali. Di luar dari isi tulisan mereka, tidak ada kesedihan atau
keputusasaan yang terungkap.
Tak seperti reklame tentang ODHA yang selama ini beredar dan mengeksploitasi ketidakberdayaan, terkapar kurus kering kerontang menunggu ajal. Saya hanya berkenalan dengan pergumulan mereka lewat apa yang mereka tulis. Dari sanalah saya mencoba memahami beragam proses yang mereka lewati dengan HIV, terutama implikasinya terhadap semua yang mereka kenal keluarga, teman-teman, kekasih, dan seterusnya. Saat kami mengobrol langsung, yang ada hanyalah tawa. Dan saya tersadar, kekuatan itu bisa hadir karena mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. Konseling, penerangan, aktivitas, dan kebersamaan, dapat menyalakan pelita dalam diri mereka untuk menjadi kekuatan dan bukan menjadi yang terbuang.
Tak seperti reklame tentang ODHA yang selama ini beredar dan mengeksploitasi ketidakberdayaan, terkapar kurus kering kerontang menunggu ajal. Saya hanya berkenalan dengan pergumulan mereka lewat apa yang mereka tulis. Dari sanalah saya mencoba memahami beragam proses yang mereka lewati dengan HIV, terutama implikasinya terhadap semua yang mereka kenal keluarga, teman-teman, kekasih, dan seterusnya. Saat kami mengobrol langsung, yang ada hanyalah tawa. Dan saya tersadar, kekuatan itu bisa hadir karena mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. Konseling, penerangan, aktivitas, dan kebersamaan, dapat menyalakan pelita dalam diri mereka untuk menjadi kekuatan dan bukan menjadi yang terbuang.
Pada malam terakhir pelatihan, salah satu fasilitator berulangtahun dan merayakannya di restoran di Dago Pakar. Sebagaimana hari-hari mentoring, kami asyik mengudap sambil menghadap ke lembah kota yang menyala pada malam hari. Sambil mengobrol dan ketawa-ketiwi, kami mencicip-cicip makanan dan minuman satu sama lain. Hingga kami berpisah, saya kembali ke rumah, dan tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi. Sebuah pesan masuk: Mbak, makasih ya buat malam ini. Kami terkesan sekali Mbak mau berbagi sendok dan sedotan dengan kami karena ortu saja belum tentu mau.
Terima kasih sudah menambah kepercayaan diri kami. Lama saya terdiam, memikirkan apa gerangan yang telah saya lakukan. Momen sepanjang di restoran itu rasanya berlalu wajar-wajar saja. Lama baru saya ingat, dalam acara saling coba-cobi tadi, saya telah menghirup minuman dari gelas memakai sedotan yang mereka pakai, lalu mencicip es krim dengan sendok yang mereka pakai. Lama saya termenung, mengenang sedotan yang sekian detik mampir di bibir saya, mengingat sendok yang sekian detik menghampiri lidah saya. Betapa hal kecil yang saya lewatkan begitu saja ternyata menjadi perbuatan besar dan berkesan di mata mereka. Dan barangkali demikian pula halnya dengan rangkaian keajaiban dalam hidup ini. Sering kita berjalan mengikuti arus tanpa sempat lagi mengamati keindahan-keindahan besar yang tersembunyi dalam hal-hal kecil yang kita lewati.
Kita menanti perbuatan-perbuatan agung yang tampak megah dan melupakan bahwa dalam setiap tapak langkah ada banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermakna. Jika saja virus itu tidak ada dalam darah mereka, perbuatan spontan saya tidak akan berarti. Saya mungkin tidak akan dikirimi pesan itu, dan saya tidak akan merenungi hal ini. Pertanyaan saya di Ubud terjawab dengan sebuah pengalaman. Pada satu titik, virus itu telah menyentuh hidup saya. Menjadi akselerator kehidupan saya. Bukan untuk memperlama denyut jantung, tapi mengajarkan saya bahwa hidup itu amat berharga dan selalu kaya makna, andai saja kita memilih untuk mengetahuinya. Suzanna Murni tahu hal itu. Demikian pula para peserta mentoring tadi. Saya hanya berharap mereka terus mengingatnya, demikian juga kita. Pesan singkat itu dikirim tanggal 13 Mei 2006, dan masih saya simpan hingga hari ini.
Menembus Tingkap Kaca
Suasana 17 Agustus selalu membangkitkan kembali pemaknaan dari merdeka itu sendiri. Setidaknya, pada level ritual, setahun sekali kita diajak mengheningkan cipta, mengenang jasa pahlawan, memikirkan ulang kontribusi apa yang bisa kita beri bagi Indonesia. Tahun ini, saya merenungkan konsep merdeka yang sedikit berbeda. Konsep kedaulatan kadang membuat saya bertanya-tanya, apakah konsep itu nyata? Dunia yang kini menyusut, mengecil, dan tambah rekat, telah menciptakan realitas unik yang memancing saya berpikir ulang tentang kedaulatan dan kemerdekaan. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa era globalisasi mengubah fungsi entitas negara, menggeser atau setidaknya membagi porsi kedaulatannya pada pasar. Perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi pergerakan ekonomi dunia telah memenetrasi negara hingga memengaruhi kebijakannya, tak jarang malah mendiktenya. Kemerdekaan dalam konteks hari ini lebih dirasa seperti selembar ijazah, surat lisensi, atau akte kelahiran sebuah bangsa. Sekadar pijakan identitas. Selebihnya, setiap gerak langkah satu negara akan selalu dimonitor, dikendalikan, dipengaruhi, oleh kekuatan besar lain yang memayungi eksistensinya. Kemerdekaan seperti tingkap kaca, seolah-olah tidak ada batasnya, tapi kepala kita terantuk juga.
Banyak nama yang mewakili era kita sekarang. Orang teknologi akan mengatakan era digital, orang poleksosbud mengatakan era globalisasi, orang New Age akan mengatakan Zaman Aquarius. Kita bisa melihat makin banyaknya perubahan yang dimotori grup kecil, entitas non-negara, nonpartisan, non-birokrat, yang menjadikan negara seperti gajah besar yang tersuruk-suruk mengikuti kecepatan zaman. Kendati demikian, saya masih ingin menarik lebih dalam lagi makna kemerdekaan, menembus tingkap kaca tadi hingga ke unit individu.
Dalam kehidupan individu, kita tak luput dari impitan harapan lingkungan sekitar kita. Seringkali terasa sulit untuk bernafas bebas dari ekspektasi orang lain, apakah dalam bentuk norma, nilai, aturan maupun kondisi sosial yang mengikat kita. Bahkan terkadang keterpenjaraan ini pun secara halus diungkapkan sebagai "kebebasan yang bertanggung jawab", agar kita tidak lagi mengenang kesejatian ekspresi pendapat maupun sikap kita. Ada sebagian orang berpendapat, Indonesia belum siap untuk kebebasan individu. Jelajah rasa saya mengatakan ini seperti fenomena telur dan ayam. Di satu sisi, kita tahu bagaimana riuhnya pendapat massa hasil ?komporan? pihak yang berkepentingan tertentu, namun di lain sisi kita tidak bisa terus menerus menunda ekspresi individu yang mungkin justru hadir sebagai bagian dari pendewasaan bangsa ini. Semua ini akhirnya berujung pada ketidakmampuan kita untuk hidup secara total. Pikiran, perasaan, sikap dan pendapat akhirnya terparut oleh kelayakan sosial.
Hidup ini menjadi sebagian saja. Dan bagi yang alergi terhadap konflik, akhirnya lebih memilih tertidur dalam keterpenjaraan mental, emosional maupun spiritual. Adakah kemerdekaan sejati yang tidak menjebak kita dalam ilusi tanpa batas seperti halnya tingkap kaca? Saya yakin ada. Barangkali hanya segelintir individu yang pernah mengecapnya, banyak yang berproses untuk mendapatkannya, dan lebih banyak lagi yang tidak mengenalnya sama sekali. Sebagian besar dari kita hidup seperti Epimenides yang terjebak dalam pilihan dilematis tak berujung.
Satu-satunya solusi sejati adalah keluar dari perangkap konflik, menembus tingkap kaca, dan memandang kemerdekaan sebagai suara jiwa, suara individu nan otentik, bukan suara sosial semata. Kemerdekaan semacam ini tidak bersuara dan tidak berdarah-darah. Kemerdekaan ini tanpa proklamasi, tanpa organisasi, tanpa prosesi. Kemerdekaan ini bernama kesadaran. Merdeka sejati berarti mentransendensi bipolaritas nilai dan mengatasi tingkap kaca yang menaungi kepala. Kita bisa jadi disebut bangsa berdaulat, tapi kita amat jauh dari manusia yang berdaulat. Semoga suasana kemerdekaan setahun sekali ini dapat menggelitik kita untuk mengecek sejauh mana tingkap kaca di atas kepala kita, dan apakah kita tergerak untuk mengatasinya, menjadi manusia yang sungguhan merdeka dan berdaulat. Manusia otentik yang merayakan kemerdekaannya setiap hari.
Langganan:
Komentar (Atom)

