Pages - Menu

Senin, 16 Maret 2015

Serial Surel: Writer’s Block


Saya Aulia dan masih berusia 19 tahun. Saya sudah jatuh cinta dengan menulis dari saya masih duduk di bangku SD. Tetapi saya selalu kesulitan untuk menyelesaikan hasil karya saya, apalagi ketika mengalami writer’s block. Saya ingin bertanya, apa yang Dee lakukan ketika mengalami writer’s block?
Hai Aulia,
Jika ada polling yang mengurutkan peringkat pertanyaan paling umum yang ditanyakan kepada penulis, saya yakin pertanyaan tentang writer’s block setidaknya ada di urutan tiga besar. Selamat, Aulia. Pertanyaanmu mewakili tanda tanya banyak orang. Mudah-mudahan jawaban saya berikut bisa bermanfaat.
Sepanjang pengalaman saya, ada dua jenis kondisi yang kerap dianggap sebagai writer’s block. Keduanya pernah saya alami. Bukan sekali-dua kali, melainkan berkali-kali.
Yang pertama adalah writer’s block “akut”, kondisi saat cerita kita terblok oleh perintang yang sebetulnya kecil, tapi bisa besar karena ketidakjelian kita sendiri dan karena kita membiarkannya menjadi besar. Blok akut ini ibarat bongkahan batu di jalan setapak yang membuatmu tersandung. Syukurnya, tidak sampai patah tulang. Setelah istirahat sebentar dan urut-urut sedikit, kamu bisa jalan lagi. Writer’s block pada level ini lebih sesuai dikategorikan sebagai distraksi daripada kebuntuan.
Yang kedua adalah writer’s block besar, yang mana kita terblok secara kronis. Blok kronis ini ibarat tembok tinggi yang (sepertinya) tahu-tahu berdiri menghalangi jalanmu. Sialnya, tidak tampak ada pintu keluar. Kamu ingin memanjat, naasnya lagi, tak ada tangga. Kamu berusaha berputar, tapi tembok itu seperti tidak berujung. Kamu terjebak. Seorang penulis bisa terperangkap berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di balik tembok itu.
Dari kedua kondisi di atas, kategori kedualah yang menurut saya layak disebut writer’s block. Masalahnya, banyak sekali orang yang mencampurkan keduanya. Segala jenis perintang dihakimi sebagai writer’s block. Karena itu saya perlu berhati-hati menjawab pertanyaanmu ini dan bertanya balik sebelum kita lanjut lagi: yang mana yang sedang kamu alami? Kedua kondisi itu membutuhkan penanganan yang berbeda. Semakin sering kita menulis, semakin sering kita menemui keduanya, akan semakin jeli pulalah kita membedakannya. Semakin mudah kita mendeteksi blok apa yang sedang kita hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
Dalam kondisi akut atau sekadar terdistraksi, ini yang biasanya saya lakukan:
Berhenti menulis
Mesin panas. Otak ngebul. Maka, jalan terbaik adalah berhenti. Matikan mesin. Istirahatkan pikiranmu dengan melakukan hal lain selain menulis. Kerjakan hobimu yang lain, entah itu merajut atau bikin brownies, atau tonton film dengan tatapan kosong sambil mengunyah popcorn. Yang penting, ingat untuk kembali lagi. Perhentian ini dimaksudkan untuk rihat, bukan pelarian.
Mandi
Entah berapa ratus kali cerita saya diselamatkan oleh mandi. Biasanya, ini terjadi ketika cerita memasuki persimpangan dan saya bingung aliran cerita perlu dibawa ke mana. Bersama aliran air yang mengucur dari pancuran, mendadak jawaban itu datang. Cerita saya kembali benderang. Sungguh, tadinya saya pikir nasib baik saya dengan air ini cuma untung-untungan. Tapi, saking seringnya kejadian serupa berulang, saya mulai mencari tahu. Ternyata, dalam ilmu Ayurveda, mandi (atau bisa juga mandi setengah atau vyapak saocha, yang mirip sekali dengan wudhu) adalah praktik yang menjadi bagian dari ritual meditasi. Fungsinya adalah untuk mendinginkan titik-titik panas tubuh yang biasanya juga berhubungan dengan “celoteh pikiran”. Ketika titik-titik ini didinginkan, celoteh atau pun noise dalam benak kita menyurut, dan apa yang tadinya tersamarkan oleh kegaduhan pikiran mulai terdengar.
Jauhi distraksi
Sterilkan tempat kerjamu dari distraksi. Matikan internet. Matikan televisi. Senyapkan telepon. Apa pun yang kamu bisa lakukan untuk meminimalkan distraksi, lakukanlah.
Gerakkan tubuh
Setiap orang yang pernah membuat fiksi pasti paham bahwa cerita adalah sesuatu yang bergerak. Yang sering terlewat dipahami adalah, kita sebagai pencerita adalah satu kesatuan tubuh dan pikiran. Seringkali, kebuntuan yang dialami pikiran adalah karena tubuh kita kelamaan dibiarkan kaku. Duduk menulis berjam-jam, berhari-hari, membuat kita rentan lupa bahwa tubuh kita adalah bagian dari penopang aliran cerita. Jadi, sesekali, gerakkanlah. Entah itu dengan jalan santai, latihan TRX, atau kayang. The sky is your limit.
Lalu, bagaimana dengan writer’s block yang kronis? Seringkali, solusinya tidak menyenangkan dan karena itu ia ditakuti oleh semua penulis, yakni membongkar cerita. Artinya, jerih payahmu berhalaman-halaman bisa berakhir di tong sampah. Ide cerita yang kamu pikir akan mengguncang jagat perbukuan Indonesia bisa kandas dan tak jadi apa-apa.
Apa yang harus dibongkar? Kita akan menyebutnya dengan istilah elemen fiksi. Penjelasan tentang elemen fiksi akan butuh satu artikel tersendiri. Tapi, secara garis besar, elemen fiksi meliputi: karakter, plot, dialog, setting, konflik. Membongkar elemen fiksi biasanya berakhir dengan karaktermu dipreteli, dialogmu direvisi dan dihidupkan, setting diganti, konflik diruncingkan, dan plot harus disusun ulang.
Dan, ketika kamu sudah membongkar elemen-elemen fiksimu, apakah ada jaminan bahwa tulisanmu akan rampung? Kemungkinan besar, iya. Jaminan bagus? Belum tentu juga. Siapa tahu, bukan hanya elemen fiksi yang perlu diperbaiki. Kamu bahkan perlu menggugurkan ceritamu dan menggantinya dengan ide yang sama sekali baru.
Karena itulah, saya selalu berkata bahwa untuk menulis dibutuhkan keberanian. Keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk mencoba lagi. But, is it worth it? Well, let me put this way, ketabahan kita mendobrak writer’s block bisa jadi penentu apakah kita akan berhasil menjadi penulis atau sekadar orang yang berangan-angan menjadi penulis. You decide.

~ D ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar