Saya Aulia dan masih berusia 19 tahun. Saya sudah jatuh
cinta dengan menulis dari saya masih duduk di bangku SD. Tetapi saya
selalu kesulitan untuk menyelesaikan hasil karya saya, apalagi ketika
mengalami writer’s block. Saya ingin bertanya, apa yang Dee lakukan
ketika mengalami writer’s block?
Hai Aulia,
Jika ada polling yang mengurutkan peringkat pertanyaan paling umum yang ditanyakan kepada penulis, saya yakin pertanyaan tentang writer’s block
setidaknya ada di urutan tiga besar. Selamat, Aulia. Pertanyaanmu
mewakili tanda tanya banyak orang. Mudah-mudahan jawaban saya berikut
bisa bermanfaat.
Sepanjang pengalaman saya, ada dua jenis kondisi yang kerap dianggap sebagai writer’s block. Keduanya pernah saya alami. Bukan sekali-dua kali, melainkan berkali-kali.
Yang pertama adalah writer’s block “akut”, kondisi saat
cerita kita terblok oleh perintang yang sebetulnya kecil, tapi bisa
besar karena ketidakjelian kita sendiri dan karena kita membiarkannya
menjadi besar. Blok akut ini ibarat bongkahan batu di jalan setapak yang
membuatmu tersandung. Syukurnya, tidak sampai patah tulang. Setelah
istirahat sebentar dan urut-urut sedikit, kamu bisa jalan lagi. Writer’s block pada level ini lebih sesuai dikategorikan sebagai distraksi daripada kebuntuan.
Yang kedua adalah writer’s block besar, yang mana kita
terblok secara kronis. Blok kronis ini ibarat tembok tinggi yang
(sepertinya) tahu-tahu berdiri menghalangi jalanmu. Sialnya, tidak
tampak ada pintu keluar. Kamu ingin memanjat, naasnya lagi, tak ada
tangga. Kamu berusaha berputar, tapi tembok itu seperti tidak berujung.
Kamu terjebak. Seorang penulis bisa terperangkap berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun di balik tembok itu.
Dari kedua kondisi di atas, kategori kedualah yang menurut saya layak disebut writer’s block. Masalahnya, banyak sekali orang yang mencampurkan keduanya. Segala jenis perintang dihakimi sebagai writer’s block.
Karena itu saya perlu berhati-hati menjawab pertanyaanmu ini dan
bertanya balik sebelum kita lanjut lagi: yang mana yang sedang kamu
alami? Kedua kondisi itu membutuhkan penanganan yang berbeda. Semakin
sering kita menulis, semakin sering kita menemui keduanya, akan semakin
jeli pulalah kita membedakannya. Semakin mudah kita mendeteksi blok apa
yang sedang kita hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
Dalam kondisi akut atau sekadar terdistraksi, ini yang biasanya saya lakukan:
Berhenti menulis
Mesin panas. Otak ngebul. Maka, jalan terbaik adalah berhenti. Matikan
mesin. Istirahatkan pikiranmu dengan melakukan hal lain selain menulis.
Kerjakan hobimu yang lain, entah itu merajut atau bikin brownies, atau
tonton film dengan tatapan kosong sambil mengunyah popcorn. Yang penting, ingat untuk kembali lagi. Perhentian ini dimaksudkan untuk rihat, bukan pelarian.
Mandi
Entah berapa ratus kali cerita saya diselamatkan oleh mandi. Biasanya,
ini terjadi ketika cerita memasuki persimpangan dan saya bingung aliran
cerita perlu dibawa ke mana. Bersama aliran air yang mengucur dari
pancuran, mendadak jawaban itu datang. Cerita saya kembali benderang.
Sungguh, tadinya saya pikir nasib baik saya dengan air ini cuma
untung-untungan. Tapi, saking seringnya kejadian serupa berulang, saya
mulai mencari tahu. Ternyata, dalam ilmu Ayurveda, mandi (atau bisa juga
mandi setengah atau vyapak saocha, yang mirip sekali dengan
wudhu) adalah praktik yang menjadi bagian dari ritual meditasi.
Fungsinya adalah untuk mendinginkan titik-titik panas tubuh yang
biasanya juga berhubungan dengan “celoteh pikiran”. Ketika titik-titik
ini didinginkan, celoteh atau pun noise dalam benak kita menyurut, dan apa yang tadinya tersamarkan oleh kegaduhan pikiran mulai terdengar.
Jauhi distraksi
Sterilkan tempat kerjamu dari distraksi. Matikan internet. Matikan
televisi. Senyapkan telepon. Apa pun yang kamu bisa lakukan untuk
meminimalkan distraksi, lakukanlah.
Gerakkan tubuh
Setiap orang yang pernah membuat fiksi pasti paham bahwa cerita adalah
sesuatu yang bergerak. Yang sering terlewat dipahami adalah, kita
sebagai pencerita adalah satu kesatuan tubuh dan pikiran. Seringkali,
kebuntuan yang dialami pikiran adalah karena tubuh kita kelamaan
dibiarkan kaku. Duduk menulis berjam-jam, berhari-hari, membuat kita
rentan lupa bahwa tubuh kita adalah bagian dari penopang aliran cerita.
Jadi, sesekali, gerakkanlah. Entah itu dengan jalan santai, latihan TRX,
atau kayang. The sky is your limit.
Lalu, bagaimana dengan writer’s block yang kronis?
Seringkali, solusinya tidak menyenangkan dan karena itu ia ditakuti oleh
semua penulis, yakni membongkar cerita. Artinya, jerih payahmu
berhalaman-halaman bisa berakhir di tong sampah. Ide cerita yang kamu
pikir akan mengguncang jagat perbukuan Indonesia bisa kandas dan tak
jadi apa-apa.
Apa yang harus dibongkar? Kita akan menyebutnya dengan istilah elemen fiksi. Penjelasan tentang elemen fiksi akan butuh satu artikel tersendiri. Tapi, secara garis besar, elemen fiksi meliputi: karakter, plot, dialog, setting, konflik. Membongkar elemen fiksi biasanya berakhir dengan karaktermu dipreteli, dialogmu direvisi dan dihidupkan, setting diganti, konflik diruncingkan, dan plot harus disusun ulang.
Dan, ketika kamu sudah membongkar elemen-elemen fiksimu, apakah ada
jaminan bahwa tulisanmu akan rampung? Kemungkinan besar, iya. Jaminan
bagus? Belum tentu juga. Siapa tahu, bukan hanya elemen fiksi yang perlu
diperbaiki. Kamu bahkan perlu menggugurkan ceritamu dan menggantinya
dengan ide yang sama sekali baru.
Karena itulah, saya selalu berkata bahwa untuk menulis dibutuhkan
keberanian. Keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk mencoba lagi. But, is it worth it? Well, let me put this way, ketabahan kita mendobrak writer’s block bisa jadi penentu apakah kita akan berhasil menjadi penulis atau sekadar orang yang berangan-angan menjadi penulis. You decide.
~ D ~

Tidak ada komentar:
Posting Komentar